Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog dari Universitas Andalas (Unand) Padang Defriman Djafri, Ph.D menyarankan pemerintah agar memperkuat model komunikasi risiko vaksinasi guna mencegah penolakan program tersebut di tengah masyarakat.

"Penerapan model komunikasi risiko menjadi penting. Baik di tim satgas pusat maupun daerah agar tidak ada penolakan vaksin di masyarakat," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Model komunikasi risiko yang disusun tersebut, katanya, harus menjelaskan manfaat vaksinasi serta menangkal hoaks yang bermunculan di tengah masyarakat.

Selain itu, menurut dia, guna menyukseskan program vaksinasi COVID-19, pemerintah juga perlu membuat semacam gerakan nasional yang masif dalam menyosialisasikan manfaat dari vaksin.

"Ini juga bagian dari model komunikasi risiko," ujar Defriman, yang juga Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unand tersebut.

Pemahaman-pemahaman yang utuh kepada masyarakat diyakini akan mematahkan anggapan atau isu-isu bahwa vaksin membahayakan kesehatan.

Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Provinsi Sumatera Barat tersebut mengatakan, menyukseskan program vaksinasi dan merangkul kalangan yang menolak divaksin memang sebuah tantangan berat.

"Ini yang perlu diatur sebaik mungkin oleh pemerintah agar masyarakat tidak termakan isu hoaks," ujarnya.

Perlu diingat, kata dia, vaksinasi bukan hanya semata menyelamatkan diri sendiri namun keluarga, lingkungan dan bangsa. Oleh sebab itu, pemerintah telah menargetkan 181,5 juta masyarakat sebagai sasaran vaksinasi guna mencapai kekebalan komunal.

Sebagai tambahan, program vaksinsi tahap kedua telah dimulai pemerintah pada 17 Februari dengan sasaran awal para pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta.

Pelaksanaan vaksinasi tahap kedua akan menyasar 38.513.446 orang yang terdiri dari 21 juta lebih untuk lansia dan sisanya bagi petugas pelayanan publik.

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021