Fenomena dinasti politik tersebut justru menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal
Jakarta (ANTARA) -
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menyebutkan dinasti politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) dapat menghambat konsolidasi demokrasi.
 
"Fenomena dinasti politik tersebut yang kemudian justru menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal, sekaligus melemahkan institusional partai politik dan lebih mengemukakan pendekatan personal ketimbang kelembagaan," kata Agus Widjojo dalam seminar tentang "Pilkada Serentak dan Konstelasi Politik di Daerah", di Kantor Lemhannas, Jakarta, Kamis.
 
Lemhannas RI melihat fenomena menarik dari perolehan hasil pilkada, yakni menguatnya dinasti politik. Hal tersebut dapat dilihat dari sistem informasi dan rekapitulasi KPU yang menunjukkan bahwa 55 kandidat dari 124 kandidat (44 persen) terafiliasi dengan dinasti politik pejabat dan mantan pejabat.
 
Akibat fenomena dinasti politik, ujar Agus, rekrutmen politik hanya dikuasai oleh sekelompok atau segelintir orang melalui oligarki.
 
Padahal, Indonesia merupakan negara demokrasi, dimana dalam memilih pemimpin, rakyat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi langsung di dalam pemilihan umum, baik dalam hal memilih eksekutif maupun legislatif, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.
 
Pada tanggal 9 Desember 2020 telah dilaksanakan pilkada serentak meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang secara keseluruhan berlangsung dengan aman, damai, dan lancar, walaupun di tengah kondisi pandemi COVID-19.
 
Fenomena yang tak kalah menarik, kata Agus, masih kuatnya praktik politik uang.
 
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menangani 104 dugaan politik uang pada Pilkada Desember 2020 yang tersebar di 19 provinsi, yaitu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Banten, NTT, Babel, Kalimantan Tengah, dan Riau.
 
"Politik uang yang dilakukan terus-menerus akan merusak budaya demokrasi di Indonesia, karena akan mempengaruhi masyarakat untuk memilih berdasarkan transaksional dengan manfaat subjektif untuk kepentingan sesaat jangka pendek, tidak melihat kepada visi-misinya pembangunan jangka panjang," kata Agus dalam siaran persnya.
 
Agus juga menilai pilkada serentak diwarnai dengan terindikasinya 21 kasus pelanggaran netralitas ASN.
 
Dampak dari ketidaknetralan ASN ini, juga bersifat jangka panjang, akan mempengaruhi pola manajemen PNS yang tidak lagi didasarkan pada profesionalisme, tetapi lebih kepada kedekatan personal terhadap pejabat, yang berarti politisasi ASN atau PNS.
 
Terkait kondisi demokrasi fenomena pilkada yang akan terus terulang, kata Agus, maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.
 
"Bagaimana peran kekuatan politik yang ada dalam pilkada untuk dapat terus-menerus memperkuat peran demokrasi di Indonesia guna mencapai tujuannya. Apakah kekuatan partai politik saat ini tidak lagi mempunyai kekuatan ideologis, sehingga masyarakat tidak lagi teridentifikasi kepada warna partai politik tertentu dikaitkan dengan aspirasinya, dan lebih kepada pertimbangan pragmatis jangka pendek dengan melakukan politik uang dan mengedepankan figur serta politik oligarki karena dianggap dapat meraih kekuatan maksimal untuk pemenangan pilkada," demikian Agus Widjojo.
Baca juga: Selamat datang negarawan hasil Pilkada 2020
Baca juga: Mantan Ketua MK menilai banyak parpol terjebak politik dinasti
 

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021