Jakarta (ANTARA) - Internet membawa banyak manfaat, terlebih pada masa pandemi seperti saat ini di mana pembelajaran harus dilakukan secara jarak jauh, namun kekerasan non-fisik juga bisa dialami anak mulai dari hal yang ditampilkan pada layar gawai itu sendiri.

Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA RI), Ciput Eka Purwianti, menyebut tiga risiko bagi anak mengalami kekerasan di ranah daring.

"Pertama, mereka rentan untuk mengalami kekerasan siber, ini bisa termasuk eksploitasi seksual daring, terekspos pada tindakan menyakiti diri sendiri, bunuh diri, kemudian mereka juga bisa terkontaminasi dengan konten-konten radikalisme dan eksploitasi lainnya yang kita sudah banyak kasusnya," ujar Ciput dalam temu media secara daring belum lama ini.

Risiko selanjutnya, menurut Ciput, adalah adiksi siber. Beberapa kota di Tanah bahkan telah melaporkan kasus ini. Anak usia di bawah 10 tahun sudah adiksi pada gawai, termasuk adiksi pada game online juga adiksi pada pornografi.

Berikutnya, risiko lain yang banyak terjadi tanpa disadari adalah perundungan siber. Kebanyakan anak menerima perundungan siber secara online dari teman sebanyak, namun juga orang dewasa.

Baca juga: Tips menjaga anak di dunia internet

Baca juga: Tips bagi orangtua agar anak aman di ranah online


Kekerasan anak di medsos

Data tentang kekerasan yang dialami anak-anak di media sosial, dari Yayasan Plan International Indonesia pada 2020, menunjukkan ancaman terbesar adalah kekerasan seksual.

"96 persen dari responden mengatakan mereka mengalami ancaman kekerasan seksual. Terbesar berikutnya ada pelecehan seksual, atau pelecehannya lainnya, melalui komentar atau pun pesan yang diterima oleh anak-anak," kata Ciput.

Kekerasan di media sosial berikutnya adalah stalking oleh orang asing atau orang dewasa, dan kebanyakan adalah predator. Kemudian, ada body shaming, pelecehan seksual, komentar rasis, ancaman kekerasan fisik dan juga dipermalukan.

Survei lainnya, yang dilakukan di masa awal pandemi pada April 2020, Ciput menyebutkan ada sekitar 30 persen atau 112 anak yang mengaku mereka mendapatkan kiriman tulisan atau pesan teks yang tidak senonoh.

"Jadi pornografi itu tidak hanya berupa video atau gambar tapi juga termasuk teks," dia melanjutkan.

Terbesar berikutnya, responden survei tersebut mengaku mendapatkan kiriman gambar atau video yang tidak nyaman, dan terbesar ketiga berikutnya, mereka mengaku dikirimi gambar atau video yang mengandung pornofgrafi.

"Ini sebuah alarm, pengingat bagi kita semua, orang tua khususnya, untuk meningkatkan bahwa bagaimana menjaga kedekatan relasi dengan anak yang semakin dia meningkat usianya tentu tantangannya semakin berbeda," ujar Ciput

"Yang sangat penting dan utama adalah pastikan orang tua mendampingi saat anak-anak berselancar di internet dengan gawai mereka. jadi, jangan biarkan anak-anak ini sendirian saat mereka mengakses platform-platform online ini. Baik platform edukasi, platform entertainment, ataupun berita," dia menambahkan.

Baca juga: Anak-anak pengakses pornografi terbanyak di Jepang

Baca juga: Menteri PPPA: Penghapusan kekerasan seksual tidak dapat ditunda

Baca juga: KPAI: Tindakan kebiri kimia tidak untuk pelaku anak

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021