Jakarta (ANTARA) - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menyerukan pembebasan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi serta sejumlah tokoh lain yang ditahan oleh pihak militer dalam aksi kudeta pada Senin (1/2).

DK PBB, yang beranggotakan 15 negara, pada Kamis (4/2) mengeluarkan pernyataan yang menekankan "perlunya menegakkan lembaga dan proses demokrasi, menahan diri dari kekerasan, dan sepenuhnya menghormati hak asasi manusia, kebebasan fundamental, dan supremasi hukum."

Bahasa dalam pernyataan itu lebih lembut dibandingkan rancangan pernyataan yang dibuat oleh Inggris, dan tidak menyebutkan kata "kudeta" --tampaknya untuk mendapatkan dukungan dari China dan Rusia, yang secara tradisional melindungi Myanmar dari tindakan dewan yang signifikan.

China juga memiliki kepentingan ekonomi yang besar di Myanmar dan hubungan dengan militer.

Perwakilan China untuk PBB mengatakan Beijing berharap pesan-pesan utama dalam pernyataan itu "dapat diperhatikan oleh semua pihak dan mengarah pada hasil yang positif" di Myanmar.

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengatakan militer Myanmar harus mundur. Desakan itu dinyatakan Biden pada saat pemerintah AS sedang mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap para jenderal yang bertanggung jawab atas kudeta di negara Asia Tenggara itu.

Biden mengatakan AS sedang bekerja dengan para sekutu dan mitranya untuk menangani pengambilalihan kekuasaan oleh para jenderal di Myanmar.

"Tidak ada keraguan dalam kekuatan demokrasi yang tidak pernah berusaha untuk mengesampingkan keinginan rakyat atau berusaha untuk menghapus hasil pemilu yang dapat dipercaya," kata dia.

Gedung Putih mengatakan penasihat keamanan nasional Jake Sullivan telah berbicara melalui telepon dengan para duta besar Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Sullivan sebelumnya mengatakan bahwa pemerintahan Biden sedang mempertimbangkan sanksi yang ditargetkan pada individu dan entitas yang dikendalikan oleh militer.

Tidak jelas seberapa efektif sanksi itu jika berlaku, karena para jenderal Myanmar hanya memiliki sedikit kepentingan luar negeri yang dapat menjadi sasaran.

Namun, militer memang memiliki kepentingan yang luas dalam ekonomi domestik dan bisa sangat merugi jika perusahaan asing yang telah berinvestasi di negara tersebut selama dekade terakhir memutuskan untuk mundur.

Pada Jumat, Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin meminta ASEAN mengadakan pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN guna membahas situasi politik Myanmar.

Reuters belum dapat menghubungi pemerintah Myanmar untuk dimintai komentar.

Jalan-jalan di ibu kota komersial Myanmar, Yangon, kembali riuh dengan dentang suara pukulan periuk timah, saat warga Myanmar mengecam pengambilalihan kekuasaan oleh militer.

Para guru dan pendidik bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil yang semakin meluas di negara itu.

"Kami hanya mendukung pemerintah terpilih dan kami akan selalu mendukung mereka. Kami sama sekali tidak menerima pemerintah yang mengambil alih kekuasaan dengan paksa," kata dosen universitas, Nwe Thazin.

Transisi panjang Myanmar menuju demokrasi kembali bermasalah ketika komandan militer Min Aung Hlaing mengambil alih kekuasaan pada Senin, karena dugaan penyimpangan dalam pemilu 8 November 2020 yang dimenangi oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) --yang dipimpin Suu Kyi.

Di lain pihak, komisi pemilihan Myanmar mengatakan pemungutan suara telah dilakukan dengan adil.

Sumber: Reuters


Baca juga: PBB kecam aksi kudeta militer di Myanmar
​​​​​​​
Baca juga: PBB khawatir kudeta militer perburuk nasib warga Rohingya di Myanmar

Baca juga: Amnesty International desak DK-PBB jatuhkan sanksi ekonomi ke Myanmar


 

AS mengancam sanksi atas kudeta Myanmar

Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021