Pamekasan (ANTARA) - Akademisi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura Dr Umi Supraptiningsih menyatakan pemberitaan di media massa yang mengabaikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, maka berpotensi bisa disanksi pidana.

"Jenis sanksinya bisa berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak sebesar Rp500 juta," katanya kepada ANTARA di Pamekasan, Sabtu malam.

Dosen Ilmu Hukum pada Fakultas Syariah IAIN Madura tersebut mengemukakan hal ini, menanggapi beredarnya pemberitaan sebagian media di Pamekasan yang menyebutkan identitas pelaku tindak pidana kriminal pada anak di sejumlah media massa.

Umi yang juga Koordinator Divisi Hukum Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPTP3A) Kabupaten Pamekasan ini lebih lanjut menjelaskan ketentuan yang mengikat mengenai pidana anak ini sebagaimana tertuang pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pada ayat 1 dijelaskan bahwa identitas anak, anak korban, dan atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.

Pada poin kedua dijelaskan bahwa identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan atau anak saksi.

Baca juga: Butuh regulasi pencegahan pekerja anak tingkat daerah, kata KPAI

Sanksinya disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Begitu pula, sambung Umi, dengan hukum materiilnya, yakni diatur di Pasal 64, yakni mengenai perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

Pada Pasal 59 ayat (2) huruf b dijelaskan, harus dilakukan melalui, penghindaran dari publikasi atas identitasnya. "Ini diatur pada poin 'i' di Pasal 59," katanya..

Oleh karenanya, sambung Umi, kebijakan aparat kepolisian Polres Pamekasan saat menyampaikan rilis kepada media, lalu disiarkan oleh sejumlah media massa sesuai dengan rilis yang sebar institusi itu tanpa menyembunyikan identitas anak yang terlibat pelanggaran hukum tersebut, merupakan bentuk pelanggaran.

"Ini tidak seharusnya terjadi. Mari kita jaga ketentuan perundang-undangan pidana anak ini dengan baik," ujar Umi.

Dalam Undang-Undang Sitem Peradilan Pidana Anak, sebenarnya jika seorang anak terlibat dalam kasus pidana kriminal, maka harus dilakukan diversi, dengan ketentuan ancaman pidana dibawah 7 tahun, dan bukan merupakan tindak pidana pengulangan.

Baca juga: Bappenas: Penahanan anak berhadapan dengan hukum masih jadi pilihan

"Ini yang saya kira juga perlu diketahui oleh masyarakat masyarakat dan alat penegak hukum bahwa kasus ini harus dilakukan diversi," kata Umi.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Namun, diversi tersebut bisa dilakukan, apabila ada kesepakatan antara korban dan orang tua pelaku, dan orang tua pelaku dapat diberikan sanksi berupa membayar ganti rugi yang diderita oleh korban.

Sebelumnya pada 27 Januari 2021, Polres Pamekasan merilis keberhasilnya kepada media, menangkap para pelaku pencurian kotak amal sebanyak sembilan orang. Empat diantara para pelaku itu berusia di bawah umur, yakni berumur 15 tahun 1 orang dan 17 tahun tiga orang.

Dalam rilis yang disebar kepada insan pers, petugas menyebutkan dengan jelas nama dan alamat keempat orang tersangka yang masih di bawah umur itu, termasuk rilis Polres Pamekasan di media persbhayangkara.id.

Baca juga: LPSK apresiasi terobosan Majelis PN Wates tangani kasus pidana anak

Pewarta: Abd Aziz
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021