Banda Aceh (ANTARA) - Mahkamah Syariah Provinsi Aceh menyatakan angka perceraian di seluruh wilayah provinsi paling barat Indonesia itu mencapai 6.090 perkara sepanjang 2020 yang masih didominasi oleh istri gugat cerai.

“Peningkatannya sebenarnya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan 2019, hanya beberapa perkara saja. Jadi pandemi COVID-19 ini tidak mempengaruhi peningkatan angka perceraian di Aceh,” kata Panitera Muda Mahkamah Syariah Aceh Abdul Latif di Banda Aceh, Kamis.

Latif menjelaskan pada 2020 pihaknya telah memutuskan 6.090 perkara perceraian, di antaranya 4.532 perkara cerai gugat atau cara istri mengajukan cerai terhadap suaminya, kemudian 1.558 perkara cerai talak yang dilakukan suami ke istri.

Baca juga: Masa pandemi, Pengadilan Agama Palembang tangani 1.666 perkara cerai

Sedangkan pada 2019, lanjut dia, angka perceraian di Tanah Rencong itu sebanyak 6.048 perkara, meliputi cerai talak 1.555 perkara dan cerai gugat 4.493 perkara. Hanya terjadi peningkatan beberapa perkara di 2020 yang masih normal, sama seperti di tahun-tahun sebelumnya.

“Jadi selama 2020 perkara yang kita terima di seluruh Aceh sebanyak 5.003 perkara cerai gugat dan 1.694 perkara cerai talak. Di antaranya ada yang sudah kami putuskan, ada yang sudah selesai di mediasi, ada juga perkara yang masih berlanjut di tahun ini,” katanya.

Di luar Aceh memang mengalami aad peningkatan (angka perceraian) yang signifikan selama pandemi ini, tetapi di Aceh peningkatannya tidak terlalu tinggi, masih normal, katanya lagi.

Latif menyebutkan daerah yang paling tinggi angka perceraian sepanjang tahun lalu seperti Kabupaten Aceh Utara 553 perkara gugat cerai dan 156 cerai talak, kemudian Aceh Tamiang 386 perkara gugat cerai dan 105 cerai talak.

Baca juga: Perceraian di Pulau Jawa meningkat disebabkan pandemi COVID-19

Menurut dia, perselisihan dan pertengkaran terus-menerus menjadi faktor yang paling dominan pemicu terjadinya perceraian di Aceh. Setelah itu baru faktor meninggalkan salah satu pihak, faktor ekonomi, baru kemudian faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Walaupun di luar orang sering menyebutkan faktor ekonomi paling banyak penyebab cerai, tapi sebenarnya tidak. Atau perkawinan usia dini, itu juga tidak sebenarnya, jadi yang paling dominan itu perselisihan dan pertengkaran terus-menerus,” katanya

Perselisihan dan pertengkaran terus menerus itu misalnya tidak harmonis, bisa saja gangguan pihak ketiga sehingga mereka berselisih, kurang menghargai atau pengaruh keluarga. Itu sebenarnya hal kecil sebagai pemicu tapi akhirnya mereka berselisih terus menerus, katanya, menjelaskan.

Latif berpesan kepada masyarakat untuk lebih sabar dalam menjalani hidup berumah tangga. Ketika ada masalah dalam bahtera rumah tangga, maka sebaiknya tidak langsung mengajukan perceraian di pengadilan.

“Kesabaran dalam rumah tangga itu penting. Siapa yang tidak miliki masalah dalam rumah tangga, semua ada saya rasa, apalagi yang baru berkeluarga harus lebih sabar. Pembinaan di desa-desa juga penting ya ke generasi muda kita ini,” katanya.

Selain kasus perceraian, kata Latif, Mahkamah Syariah di seluruh Aceh juga memutuskan 3.146 perkara isbath nikah, 879 perkara dispenassi kawin, 774 perkara penetapan ahli waris, 21 perkara izin poligami dan sejumlah perkara lainnya.

Baca juga: Ribuan kasus cerai masuk ke Pengadilan Agama Jakbar hingga Agustus

Pewarta: Khalis Surry
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021