Jakarta (ANTARA) - Di hari ulang tahun ke-48 PDI Perjuangan, yang diperingati setiap 10 Januari, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri meresmikan Gerakan Penghijauan dan Gerakan Membersihkan Sungai yang wajib dilakukan seluruh anggota dan kader partai.

Ketua umum partai berlambang banteng moncong putih itu memilih bunga lotus atau seroja (Nelumbo nucifera) sebagai lambang dari gerakan pembersihan sungai. Alasannya, selain indah, tanaman itu juga bermanfaat bagi kehidupan dengan akar, biji hingga bunga dapat dimanfaatkan untuk kesehatan, bahkan diolah menjadi makanan.

Dijelaskan Presiden kelima RI itu bahwa harapannya PDI Perjuangan dapat memberikan kegunaan dan sumbangsih yang berguna bagi negara. Ia menegaskan bahwa politik bukan hanya soal tindakan dan langkah politik, tapi juga menyentuh aspek kehidupan lain.

"Termasuk menjaga lingkungan hidup agar tetap asri dan lestari. Terus rapatkan barisan, tiada hari tanpa gerak perjuangan, termasuk penghijauan. Karena ia memberikan napas kehidupan bagi tanah air kita Indonesia Raya," ujar Megawati dalam pidato virtual di hari jadi pada Minggu (10/1).

Seruan Megawati itu kemudian dilanjutkan dengan aksi di lapangan, seperti pembersihan di Sungai Ciliwung, Jakarta, yang bertema "Cinta Ciliwung Bersih" dan dilakukan juga di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Terkait Jakarta sendiri, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan partainya akan berjuang untuk Ciliwung yang lebih bersih tidak hanya lewat gerakan, tapi juga lewat politik legislasi dan anggaran.

PDI Perjuangan bukanlah satu-satunya partai politik yang memiliki visi lingkungan hidup dengan beberapa partai, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Golkar juga telah memasukkan kesadaran akan lingkungan hidup dalam visi dan platform partainya.

Namun, berbeda dengan banyak negara lain, Indonesia sampai saat ini belum memiliki Partai Hijau atau Green Party, jenis partai yang secara resmi berdasar pada politik lingkungan, yang berhasil masuk ke dalam parlemen.

Padahal, politik memiliki andil yang cukup besar dalam lingkungan hidup, terutama terkait kebijakan yang diambil di pihak legislatif dan eksekutif.

Tidak hanya itu, seorang politikus juga dapat menjadi motor penggerak dalam pemberdayaan lingkungan hidup dan upaya pencegahan perubahan iklim yang tengah dialami Bumi saat ini.

Kalau kita tengok ke Amerika Serikat, Wakil Presiden Amerika Serikat periode 1993-2001 Al Gore pernah memenangi Nobel Perdamaian pada 2009 bersama Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atas usahanya untuk mencegah perubahan iklim.

Di Benua Afrika, mendiang Wangari Muta Maathai adalah pimpinan Green Party di Kenya dan berhasil memenangi Nobel Perdamaian pada 2004 atas perannya dalam mengembangkan pembangunan berkelanjutan, demokrasi dan perdamaian.

Peran penting politikus juga terlihat dengan inisiasi Protokol Kyoto pada 1997 untuk pengurangan emisi gas rumah kaca serta Perjanjian Paris pada 2016, di samping peranan yang besar dari lembaga non-pemerintah, ilmuwan dan berbagai tokoh lingkungan hidup.

Peran politikus tidak hanya berhenti dengan ikut mendorong berbagai perjanjian internasional terkait lingkungan hidup, tapi juga ketika mereka meratifikasi komitmen tersebut sebagai anggota parlemen di negara masing-masing.

Seperti di Indonesia, saat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari berbagai fraksi partai mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

Pengesahan yang dilakukan oleh DPR RI itu penting karena menjadi langkah pertama dalam usaha Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional, menurut Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.


Politik lingkungan

Dengan semakin majunya zaman, kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan kini menjadi semakin penting dan menjadi faktor penting dalam berbagai pengambilan keputusan, termasuk dalam ekonomi dan politik.

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja wawasan lingkungan kini menjadi salah satu kebutuhan dalam pengambilan kebijakan. Hal itu bertolak belakang dengan beberapa tahun lalu, ketika isu lingkungan dianggap sebagai hal mulia, tapi memberatkan dalam pengambilan kebijakan.

Dia menyebut bagaimana isu lingkungan hidup di zaman dulu hanya sekedar tambahan dalam pertimbangan pengambilan kebijakan, seperti "dicangkokkan" dalam berbagai kebijakan yang ada.

Namun, seiring berjalan waktu, konsep lingkungan hidup bukan bagian penting dalam pengambilan keputusan berbagai sektor, termasuk ekonomi dan politik, kini sudah berubah.

"Sekarang timbul konsep yang telah dimatangkan dengan berbagai pengalaman dan cara bahwa ekonomi yang baik adalah yang berwawasan lingkungan," kata Menteri Lingkungan Hidup RI 1993-1998 itu.

Dengan berkembangnya wawasan lingkungan itu, kini lingkungan hidup tidak lagi menjadi barang cangkokan, tapi sudah menyatu dengan berbagai kegiatan pada umumnya.

Tapi, dalam hal kebijakan politik, perwujudan dari politik lingkungan itu belum menjadi salah satu prioritas yang harus jadi pertimbangan dalam berbagai legislasi. Komitmen lingkungan partai masih harus dilihat lebih jauh, kata Koordinator Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Khalisa Kalid.

Meski mengapresiasi partai-partai politik Indonesia yang memiliki agenda dan program lingkungan hidup, tapi komitmen lingkungan mereka harus dilihat lebih jauh, tegas Khalisa.

Khalisa menyoroti bagaimana kebanyakan dari partai yang telah memasukkan komitmen lingkungan hidup dalam dokumen politik mereka, masih belum melihat isu tersebut sebagai permasalahan struktural yang terkait erat dengan kebijakan politik yang dihasilkan oleh kader partai yang berada di legislatif dan eksekutif.

"Agenda politik lingkungan yang sampai saat ini partai politik itu belum melihat sebagai program yang strategis atau prioritas," kata Khalisa.

Anggota dewan eksekutif dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berdiri sejak 1980 itu mengatakan bahwa politik lingkungan belum menjadi prioritas, terlihat dari beberapa langkah politik yang diambil oleh anggota fraksi partai di DPR dan pemimpin daerah, yang juga merupakan anggota partai.

Dia memberi contoh pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja sebagai bentuk tidak sinkronnya antara agenda politik lingkungan dengan langkah yang diambil oleh kader partai di DPR. Sebuah langkah yang menurut WALHI dan berbagai LSM lingkungan lain sebagai mengurangi perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Pemerintah sendiri menegaskan bahwa pengesahan UU Cipta Kerja untuk membantu percepatan penciptaan lapangan pekerjaan dan mendorong Indonesia menjadi negara maju. Mengenai lingkungan, yang menjadi salah satu klaster di UU itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya memastikan tidak akan menimbulkan eksploitasi sumber daya alam (SDA).

Namun, Khalisa masih ragu akan perwujudan dari politik lingkungan itu dan meminta bahwa partai politik dan seluruh kadernya benar-benar merealisasikan visi mereka dalam dokumen politik yang terkait lingkungan.

"Kalau mau menjadi trigger untuk perubahan dan merefleksikan sebagai partai politik yang punya komitmen lingkungan maka harus juga berani mengevaluasi politik transaksional yang melanggengkan praktik penghancuran lingkungan," katanya.

Untuk itu perlu langkah yang serius dari partai politik akan komitmen lingkungan mereka yang direalisasikan dengan bertambahnya kebijakan politik dan produk politik yang semakin mendukung pelestarian lingkungan.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021