Bicara UU Cipta Kerja tidak bisa terlepas dari perspektif pekerja dan calon pekerja
Jakarta (ANTARA) - Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertujuan melindungi calon pekerja dan pekerja.

"Bicara UU Cipta Kerja tidak bisa terlepas dari perspektif pekerja dan calon pekerja. Artinya, UU Cipta Kerja jelas ada perspektif yang ditujukan untuk melindungi pekerja dan calon pekerja, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang," ujar Piter dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, UU Cipta kerja ini adalah perspektif calon pekerja, itu utamanya. Karena dia akan menciptakan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Yang akan mengakomodasi kebutuhan calon pekerja, bukan pekerja. Setiap tahun berapa calon pekerja yang muncul, mereka harus disiapkan pekerjaan-pekerjaan baru.

Dalam UU Cipta Kerja, pesangon pekerja yang kena PHK memang dikurangi, tapi tidak merugikan bagi pekerja. Kenapa tidak merugikan? karena dibalik penurunan ini, ada kepastian bahwa itu akan terbayarkan.

"Mana yang lebih menguntungkan, dikasih iming-iming pesangon 32 kali tapi tidak dibayar atau pesangon 25 kali tapi pasti terbayar. Saya pasti milih yang 25 kali," kata pengamat ekonomi tersebut.

Kenapa ini pasti akan dibayar, lanjut Piter, karena klausulnya tidak lagi menjadi perdata, tapi pidana. Artinya, kalau perusahaan tidak membayar pesangon maka dia terkena kasus pidana dan bisa dipidanakan.

Dia juga menjelaskan perbedaan antara perdata dan pidana. Kalau perdata persoalannya bisa panjang dan bebannya ada di pekerja. Kalau perusahaannya tetap tidak bersedia membayar, maka pihak pekerja harus menuntut dan biayanya ada pada pihak penuntut.

“Tapi kalau itu pidana, maka pengusaha berhadapan dengan negara. Artinya, negara ada di depan para pekerja, melindungi pekerja, berhadapan dengan para pengusaha. Bagaimana mungkin kita mengatakan pemerintah tidak berpihak pada pekerja, ini kan jelas-jelas negara berpihak kepada pekerja. Dalam hal pesangon jumlahnya memang turun tapi diberikan kepastian,” kata Piter.

UU Cipta Kerja juga melindungi pekerja dalam konteks PHK. Dalam Pasal 151 UU Cipta Kerja disebutkan , perusahaan pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan tidak terjadi PHK. Dana kalaupun terjadi PHK dan pekerja menolak, maka harus dilakukan perundingan bipartit.

Jika belum mencapai kesepakatan maka harus dilakukan dengan menyelesaikan perselisihan hubungan industri. Artinya, Ini jelas sekali tidak ada ruang pengusaha untuk melakukan tindakan sewenang-wenang kepada pekerja.

Dalam Pasal 153 disebutkan bahwa perusahaan dilarang melakukan PHK karena pekerja sakit selama tidak lebih 12 bulan, menjalankan ibadah, menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan, dan beberapa hal lainnya. Ini merupakan bukti jika pemerintah melindungi pekerja.

“UU Ciptaker adalah UU yang sangat baik. UU ini memang belum sempurna tapi pemerintah sudah memberikan kesempatan untuk memberikan masukan. Masih ada proses yang masih berjalan, pembahasan turunan UU,” ujar Direktur Riset CORE Indonesia tersebut.

Baca juga: Core prediksikan anggaran PEN terserap 80 persen sampai akhir 2020
Baca juga: Kemudahan usaha UU Ciptaker bakal bikin persaingan bisnis makin ketat

Pewarta: Aji Cakti
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020