28,96 persen dari total responden mengatakan kental manis adalah susu pertumbuhan, dan 16,97 persen ibu memberikan kental manis untuk anak setiap hari.
Jakarta (ANTARA) - Penelitian menunjukkan bahwa sebagian ibu atau SEEKITAR 28,9 persen masih menganggap susu kental manis (SKM) sebagai susu pertumbuhan.

“Diketahui 48 persen ibu mengakui bahwa SKM sebagai minuman untuk anak dari media TV, koran dan sosial media. Ada 16,5 persen mengatakan informasi tersebut didapat dari tenaga kesehatan,” ucap Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Dra Chairunnisa, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.

Penelitian dilakukan YAICI, PP Muslimat NU dan PP Aisyiyah tentang Persepsi Masyarakat Tentang Kental Manis pada 2020 dengan total responden 2.068 ibu yang memiliki anak usia 0 – 59 bulan atau 5 tahun.

Dari penelitian ditemukan 28,96 persen dari total responden mengatakan kental manis adalah susu pertumbuhan, dan 16,97 persen ibu memberikan kental manis untuk anak setiap hari.

Temuan menarik lainnya adalah, kategori usia yang paling banyak mengonsumsi kental manis adalah usia tiga hingga empat tahun ada  26,1 persen,bmenyusul anak usia dua hingga tiga tahun ada 23,9 persen.
Baca juga: YAICI gandeng Aisiyah sosialisasikan bahwa SKM bukan pengganti ASI

Sementara konsumsi kental manis oleh anak usia satu hingga dua tahun sebanyak 9,5 persen, usia empat hingga lima tahun sebanyak 15,8 persen dan 6,9 persen anak usia lima tahun mengkonsumsi kental manis sebagai minuman sehari-hari.

Chairunnisa mengatakan media sangat memiliki peran penting di dalam memberikan persepsi kepada masyarakat.

“Betul, bahwa memang media ini memiliki peran penting didalam memberikan persepsi kepada masyarakat tentang kental manis adalah susu,” kata Chairunnisa.

Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU, Erna Yulia Soefihara, mengatakan bahwa ia dan kadernya di seluruh Indonesia mencoba untuk merubah persepsi bahwa kental manis itu bukanlah susu yang bisa diminum untuk balita.

“Tapi memang sangat sulit ya, saat kitamelakukan sosialisasi itu karena sudah begitu lama di mereka itu bahwa susukental manis itu sehat. Sudah menjadi kebiasaan, setelah lepas ASI merekamengganti tidak dengan susu untuk anak, tapi memberikan kental manis,” kata Erna.

Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat, mengatakan,pentingnya persoalan kental manis tidak hanya sebatas mencukupi gizi anak tapi juga potensi kerugian yang dialami negara akibat stunting bisa mencapai dua persen sampai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya.
Baca juga: YAICI: Orang tua masih anggap SKM sebagai susu

“Ini angka yang besar sekali. Kita lihat PDB 2019 sebesar Rp 15.833,9 triliun, makakerugian stunting bisa mencapai Rp 474,9 triliun. Jumlah itu mencakup biayamengatasi stunting dan hilangnya potensi pendapatan akibat rendahnyaproduktivitas anak yang tumbuh dengan kondisi stunting,” jelas Arif.
Dosen Prodi Gizi, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, dr Tria Astika Endah Permatasari SKM MKM, mengingatkan pemberian susu untuk anak harus disesuaikan dengan kategori usia.

Salah satu jenis produk susu yang sebaiknya tidak diberikan kepada anak terutama bayi dan balita adalah susu kental manis.

““Kental manis sebetulnya bukan susu, dilihat dari tabel kandungan gizi, kental manis memiliki kandungan karbohidrat paling tinggi yaitu 55 persen per 100 gram,sehingga tidak dianjurkan untuk balita.” jelas Tria.

Anak yang sudah terbiasa mengkonsumsi kental manis akan beresiko mengalami kekurangan nutrisi dan kelebihan nutrisi dan berpotensi mengidap penyakit lainnya.
Baca juga: YAICI sebut susu kental manis berbahaya bagi anak

Pewarta: Indriani
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020