Jakarta (ANTARA) - Salah dan gagal mengelola krisis kesehatan serta resesi ekonomi sekarang ini berpotensi menyebabkan krisis multidimensi. Ketika muncul potensi yang menjerumuskan negara-bangsa masuk ke jurang krisis seperti itu, semua alat dan kekuatan negara wajib tampil menggelar aksi cegah dan tangkal, at all cost.

Persepsi seperti inilah yang idealnya menjadi pijakan semua orang dalam memahami sikap tegas Presiden RI tentang urgensi ketertiban umum di masa pandemi, yang kemudian diaktualisasikan oleh Panglima TNI dan Kapolri berserta seluruh jajarannya pada sejumlah wilayah di tanah air, akhir-akhir ini. Ketika TNI dan Polri harus menunjukkan sikap tegas negara menjaga ketertiban umum di tengah pandemi, ketegasan negara itu bukannya mengada-ada atau tanpa alasan.

Faktanya adalah negara-bangsa sedang menghadapi ancaman krisis. Benih-benih krisis itu adalah pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, plus kenyataan bahwa perekonomian nasional yang sedang berselimut resesi.

Jika salah dan gagal mengelola kedua masalah ini, negara-bangsa berpotensi terjerumus ke dalam krisis multidimensi. Semua elemen masyarakat tentu saja tak ingin Indonesia masuk ke jurang krisis seperti itu.

Baca juga: Wapres: Pemerintah berupaya keras cegah krisis ganda ekonomi

Baca juga: Selesaikan krisis kesehatan, mencegah krisis ekonomi


Karena alasan pandemi Covid-19, prasyarat untuk menjauh dari zona krisis multidimensi itu adalah kepatuhan semua orang, tanpa kecuali, pada protokol kesehatan (prokes).

Dampak buruk yang multidimensional dari krisis kesehatan sudah dirasakan masyarakat dari semua kelompok usia, termasuk anak dan remaja. Ketika pandemi mengharuskan diterapkan-nya pembatasan sosial, ekses-nya tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa yang kehilangan pekerjaan atau berkurangnya penghasilan keluarga. Anak usia sekolah dan remaja pun sudah merasakan ketidaknyamanan akibat pembatasan sosial yang berkepanjangan.

Berbulan-bulan hanya belajar di rumah menjadi tidak efektif karena anak-anak mulai bosan. Sebagian besar waktu akhirnya dimanfaatkan anak untuk bermain. Kepatuhan anak untuk belajar sulit dipantau dan dikendalikan manakala orang tua harus bekerja. Masalahnya pun menjadi makin rumit karena sebagian orang tua tidak memiliki pemahaman yang cukup saat mendampingi anak belajar di rumah.

Memulihkan kembali kegiatan belajar-mengajar di sekolah tampak belum memungkinkan karena risiko penularan Covid-19 terbilang masih tinggi. Menanggapi aspirasi sebagian orang tua yang menginginkan pemulihan kegiatan belajar-mengajar di sekolah, Presiden Joko Widodo pun mengingatkan masyarakat untuk lebih mengedepankan kehati-hatian.

Kecemasan para orang tua dan orang dewasa pada umumnya pun kini sudah tereskalasi. Tekanan yang dirasakan bukan lagi hanya rasa takut tertular Covid-19, tetapi juga mulai cemas pada dampak resesi ekonomi terhadap masing-masing individu maupun keluarga. Mereka yang masih bekerja mulai takut pada kemungkinan rasionalisasi atau pengurangan karyawan maupun pengurangan jam kerja. Bahkan tidak sedikit yang takut menghadapi kemungkinan perusahaan menempuh kebijakan pemotongan gaji dengan alasan pandemi dan resesi ekonomi.

Baca juga: Gubernur BI bicara bauran kebijakan hadapi krisis COVID di forum IMF

Baca juga: Sandiaga Uno usung "vitapreneur", suplemen bertahan saat krisis


Apa yang terjadi dan dirasakan oleh kelompok usia anak dan remaja itu, serta gambaran kecemasan para orang tua, adalah fakta yang mengemuka di ruang publik akhir-akhir ini. Dari sebelumnya hanya takut tertular virus Corona, kini masyarakat mulai cemas ketika menghitung dampak resesi ekonomi. Apa yang dihadapi dan dicemaskan itu merupakan persoalan riil yang hari-hari ini menyelimuti kehidupan semua orang. Suasana kebatinan masyarakat inilah yang idealnya dipahami oleh semua kalangan, termasuk pemuka masyarakat.

Karena potensi ancamannya adalah krisis multidimensi, Presiden bersama MPR, DPR, Panglima TNI dan Kapolri sudah menyatakan negara-bangsa tidak boleh melakukan kesalahan, pun tidak boleh gagal, dalam merespon pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi. Untuk menghindari kesalahan dan kegagalan itu, negara harus menunjukkan dan mengaktualisasikan sikap tegas terukur.

Banyak figur publik yang perilaku-nya menjadi panutan masyarakat. Demi kemaslahatan masyarakat, figur-figur yang menjadi panutan masyarakat itu hendaknya juga menunjukkan sikap dan semangat yang sama; bahwa negara-bangsa tidak boleh melakukan kesalahan dan tidak boleh gagal dalam merespon Pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi sekarang ini.

Semua elemen masyarakat, bersama pemerintah, MPR dan DPR tidak boleh gagal fokus. Hari-hari ini, Indonesia bersama banyak negara lainnya sedang dalam periode krisis kesehatan dan resesi ekonomi. Semua kekuatan di dunia berupaya sungguh-sungguh agar krisis kesehatan dan resesi ekonomi sekarang ini tidak menyebabkan krisis multidimensi.

Karena itu, penanganan krisis kesehatan harus mencatat progres dari hari ke hari agar terbuka ruang bagi upaya pemulihan ekonomi. Sebaliknya, jika krisis kesehatan terus tereskalasi sebagaimana tercermin dari lonjakan kasus Covid-19 belakangan ini, upaya pemulihan menjadi sangat sulit. Situasi seperti itu menempatkan perekonomian nasional dalam ancaman krisis.

Karena itu, para figur publik atau influencer dan semua elemen masyarakat hendaknya peduli dan partisipatif dalam penanggulangan krisis kesehatan dan upaya pemulihan ekonomi dari resesi. Kepedulian pada dua masalah ini sama artinya dengan peduli dan prihatin pada lonjakan jumlah warga miskin dan lonjakan jumlah pengangguran akibat Pandemi Covid-19.

Dan, tentu saja peduli anak-anak dan remaja yang juga merasakan ketidaknyamanan dengan suasana kehidupan terkini yang tidak dinamis. Dampak buruk pembatasan sosial terhadap anak dan remaja tak boleh luput dari perhatian.

Dengan menggemakan semangat seperti itu, semua elemen masyarakat akan terdorong untuk fokus pada upaya menjauh dari zona krisis, dan lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan yang produktif.

*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI

Copyright © ANTARA 2020