Dengan kelembagaan yang terbatas seperti sekarang ini, kita pesimis target lifting minyak 1 juta barel per hari dapat terwujud
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyatakan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk merevisi UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagai upaya mengoptimalkan sektor tersebut untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.

"Bila Baleg (Badan Legislasi) membolehkan Komisi VII siap mengajukan Revisi UU Migas untuk Prolegnas Prioritas tahun 2021," kata Mulyanto dalam rilis, Kamis.

Menurut dia, setelah Pemerintah mencabut pasal-pasal terkait Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagai pengganti SKK Migas dalam RUU Cipta Kerja, maka revisi UU No. 22/2001 tentang Migas menjadi penting untuk segera dilakukan dalam rangka menindaklanjuti keputusan MK pada tahun 2012 terkait kelembagaan Badan Pelaksana Hulu Migas.

Mulyanto mengaku sudah berkomunikasi dengan Ketua Komisi VII DPR RI terkait kesiapan ini. Bahkan, katanya, di internal Komisi VII sudah ada kesepakatan tidak tertulis untuk memasukkan revisi UU No. 22/2001 ini dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2021 sebagai RUU inisiatif DPR RI.

"Sejak Badan Pelaksana Hulu Migas yang diatur dalam UU UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dibatalkan melalui keputusan MK pada tahun 2012, maka praktis pelaksana kuasa pertambangan migas dijalankan oleh Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas yang bersifat sementara," ujarnya.


Baca juga: Komisi VII DPR tegaskan pentingnya revisi UU Migas

Kelembagaan ini, lanjutnya, jelas tidak ideal karena selain bersifat sementara, hanya berupa satuan kerja di dalam Kementerian ESDM.

Selain itu, ujar dia, lembaga ini juga dinilai hanya memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan serta tidak memiliki fungsi pengelolaan dan pengusahaan.

Menurut Mulyanto, semestinya Pemerintah sudah menyiapkan konsep kelembagaan pelaksana kuasa pertambangan migas dengan matang sebagai tindak lanjut dari keputusan MK tersebut, sehingga pembangunan di sektor hulu migas benar-benar dapat dilaksanakan secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Dengan kelembagaan yang terbatas seperti sekarang ini, kita pesimis target lifting minyak 1 juta barel per hari dapat terwujud," ucapnya.

Sebelumnya terkait eksplorasi migas, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan eksplorasi energi di Indonesia selama 20 tahun terakhir masih rendah.


Baca juga: Anggota DPR ingin pemerintah segera revisi UU Migas

Menteri ESDM mengatakan bahwa total biaya eksplorasi di Indonesia hanya 1 persen dibandingkan biaya eksplorasi yang digelontorkan oleh perusahaan-perusahaan tambang dunia, berdasarkan data S&P Global Market Intelligence.

"Selama 20 tahun terakhir, total biaya eksplorasi di Indonesia hanya 1 persen dari biaya eksplorasi perusahaan tambang kelas dunia," kata Menteri ESDM Arifin dalam peluncuran buku "An Introduction Into The Geology of Indonesia" oleh Prof Dr RP Koesoemadinata dalam sambutannya secara virtual, Senin (16/11).

Ia menjelaskan bahwa rendahnya biaya eksplorasi tersebut dipengaruhi juga oleh kegiatan eksplorasi di Indonesia yang belum dilakukan secara masif.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah mendorong eksplorasi yang sangat masif guna memenuhi kebutuhan cadangan energi yang dibutuhkan. Ada pun Indonesia membutuhkan tambahan cadangan minyak sebesar 1 juta barel per hari (bopd).

Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini Indonesia masih memiliki stok minyak bumi sebanyak 3,77 miliar barel; gas bumi sebesar 77,3 triliun kaki kubik dan stok batu bara 37,6 miliar ton.


Baca juga: Anggota DPR: holding migas baiknya tunggu revisi UU Migas

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020