Pemberian bansos saja tidak cukup untuk keberlanjutan produktivitas usaha mikro. Peningkatan akses UMKM ke pasar digital dapat menjadi salah satu solusi keberlangsungan usaha mikro di tengah pandemi
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah diminta untuk mendorong peningkatan akses usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ke pasar digital sebagai salah satu solusi keberlangsungan usaha mikro di tengah pandemi.

Pasalnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina menilai bantuan sosial (bansos) produktif sebagai bagian program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk meningkatkan daya tahan UMKM tidak cukup untuk keberlanjutan produktivitas usaha mikro.

"Pemberian bansos saja tidak cukup untuk keberlanjutan produktivitas usaha mikro. Peningkatan akses UMKM ke pasar digital dapat menjadi salah satu solusi keberlangsungan usaha mikro di tengah pandemi," katanya dalam keterangan di Jakarta, Selasa.

Menurut Dina, perluasan pasar bagi pelaku usaha mikro dapat menjadi alternatif solusi untuk usaha mikro yang berkelanjutan.

Digitalisasi dapat membuka potensi pasar bagi UMKM menjadi lebih luas sehingga meningkatkan penjualan UMKM khususnya saat pandemi.

Studi dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa pandemi merupakan alasan utama pelaku UMKM untuk masuk ke dunia digital menurut 71 persen penjual GoFood dan 93 persen social seller (pengusaha individu/mikro yang memiliki sedikit pengalaman berbisnis dan menargetkan jejaring sosial sebagai konsumen melalui media sosial) yang menggunakan GoSend.

Di saat yang bersamaan, prospek konsumen digital juga turut meningkat dilihat dari peningkatan penggunaan aplikasi belanja online atau dalam jaringan (daring) sebesar 42 persen menurut infografis BPS.

"Namun, Kementerian Perdagangan mewajibkan pelaku usaha yang menggunakan sistem daring untuk memiliki izin per tanggal 1 November 2020," katanya.

Dasar hukum pemberlakuan izin tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha melalui Sistem Elektronik.

Pasal 39-41 peraturan tersebut menjelaskan bahwa pelaku usaha yang tidak memiliki izin dapat dikenakan sanksi administratif. Sanksi tersebut berupa teguran tertulis sebanyak maksimal tiga kali, kemudian jika tidak diindahkan akan dimasukkan ke dalam daftar hitam dan/atau pemblokiran sementara.

"Untuk mendorong digitalisasi usaha mikro, Kementerian Perdagangan dapat mempertimbangkan pengecualian pemberlakuan izin perdagangan daring khusus untuk usaha mikro atau setidaknya menunda setelah pandemi dapat diatasi di tahun depan," imbuhnya.

Berkaca dari laporan International Finance Corporation (IFC) tentang adanya kendala perizinan untuk perdagangan konvensional atau offline, sebanyak 33 persen pelaku usaha mikro dan kecil menganggap bahwa proses perizinan terlalu rumit. Sedangkan, 27 persen pelaku usaha mikro dan kecil menyebutkan bahwa mereka tidak melihat adanya manfaat dari perizinan.

Kementerian Perdagangan juga dapat melihat bagaimana negara lain mengatur sistem perdagangan daring untuk melindungi hak konsumen, salah satunya adalah Inggris.

Alih-alih memberlakukan izin, Inggris menetapkan peraturan yang harus ditaati dan menerapkan sanksi jika ada pelaku usaha yang melanggar peraturan tersebut.

Beberapa hal yang diatur yaitu mencantumkan secara jelas langkah-langkah pemesanan, mencantumkan kontak setidaknya dalam bentuk email, menjelaskan jenis barang atau jasa yang dijual dengan lengkap dan menjelaskan bagaimana harga total barang serta biaya antar dihitung.

"Pendekatan Inggris terbukti berhasil dalam mewujudkan perdagangan melalui sistem daring yang aman dengan tidak menghambat kemudahan berusaha bagi pelaku usaha," kata Dina.

Baca juga: DPR dorong kesiapan UMKM lakukan transformasi digital

Baca juga: Di tengah pandemi, BNI tetap fokus berdayakan pelaku UMKM

Baca juga: Warung Pintar-BukuWarung percepat digitalisasi UMKM

 

 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020