Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan upaya untuk melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya paparan rokok tergolong berat.

"Target capaian RPJMN 2014-2019 Indonesia adalah 5,4 persen, tapi yang terjadi malah 9,1 persen. Itu menunjukkan bahwa kita menghadapi tantangan berat dalam upaya perlindungan anak dari paparan rokok," kata dia saat diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Senin.

Susanto mengatakan paparan dari asap rokok merupakan salah satu masalah besar yang merusak kesehatan. Padahal, secara regulasi, misalnya Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 45 B, mengatakan bahwa pemerintah pusat, daerah, masyarakat dan orang tua wajib memberikan perlindungan bagi anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak.

Selain itu, dalam Pasal 76 Undang-Undang 35 Tahun 2014 juga mengatakan secara jelas bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh anak dalam penyalahgunaan serta produksi alkohol dan zat adiktif lainnya.

"Artinya, anak-anak kita tidak boleh disuruh atau dimintai untuk membeli rokok karena berlawanan dengan undang-undang," kata dia.

Untuk kondisi saat ini, merujuk data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi perokok anak usia 10 hingga 18 tahun berada pada angka 7,2 persen. Kemudian angka itu naik menjadi 9,1 persen pada 2018.

Susanto mengatakan berdasarkan hasil Riskesdas Kemenkes, tingginya prevalensi perokok anak di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain, di antaranya terkait harga rokok itu sendiri.

Dari sisi harga rokok di Tanah Air, kata dia, masih dapat dijangkau oleh kalangan anak-anak yang memudahkan mereka untuk membeli. Selanjutnya faktor lingkungan juga turut menyumbang tingginya prevalensi perokok anak.

"Saat ini promosi rokok juga makin dinamis, bahkan melalui media digital," ujarnya.

Baca juga: Iklan rokok pengaruhi peningkatan perokok anak di Indonesia

Sementara itu, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Rizkiyana Sukandhi Putra mengatakan tembakau merupakan salah satu faktor penyebab risiko kesakitan, kematian, disabilitas hingga COVID-19.

Baca juga: Indonesia urutan tiga dunia prevalensi perokok anak

Ia mengatakan orang yang termasuk perokok aktif memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat COVID-19 jika dibandingkan orang yang tidak merokok. Jika dilihat dari aspek ekonomi, penduduk miskin sebagai perokok sebesar 27,3 persen dan penduduk kaya 19,5 persen.

Baca juga: Kemenkes: Kebiasaan merokok generasi muda dapat ancam bonus demografi

"Ini menunjukkan perilaku merokok ada di setiap lapisan masyarakat," katanya.

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020