Kalau tidak ingin jenuh di dalam kamar, lihatlah pantai di luar sana
Fuzhou (ANTARA) - Tepat pukul 22.40 waktu China (21.40 WIB) roda pesawat berbadan lebar Boeing 787-9 Dreamliner menyentuh ujung landasan Bandar Udara Internasional Changle, Kota Fuzhou, Provinsi Fujian, pada Kamis (22/10).

Para penumpang harap-harap cemas, ingin segera turun setelah 5 jam dan 7 menit di dalam pesawat milik maskapai penerbangan Xiamen Airlines yang menempuh perjalanan sejauh 4.424 kilometer dari Jakarta.

Setelah diatur sedemikian rupa agar tidak saling berebut meninggalkan pesawat, para penumpang diarahkan menuju tempat semacam aula yang tidak jauh dari apron bandara sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Di meja pertama, para penumpang menyerahkan hasil swab test yang dikeluarkan salah satu klinik laboratoium ternama di Jakarta, formulir kesehatan berstempel Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Jakarta atau perwakilannya di berbagai daerah, dan hasil pemindaian aplikasi Komisi Kesehatan Nasional (NHC) di ponsel.

Setelah ditanyai riwayat kesehatan dan perjalanan dalam 14 hari terakhir oleh petugas kesehatan, para penumpang diarahkan ke bilik-bilik kecil, mirip tempat pemungutan suara.

Di bilik-bilik itulah swab test dilakukan petugas kesehatan dengan cara mengambil sampel dari kedua lubang hidung para penumpang.

Banyak yang meringis kesakitan setelah hidungnya diusap dengan kapas lidi oleh petugas kesehatan guna mendapatkan sampel menjelang tengah malam itu.

Setelah keluar dari bilik-bilik, seorang petugas kepolisian menghadang setiap penumpang untuk meminta kertas kecil warna putih yang sudah diisi data diri dan nomor penerbangan. Kertas kecil bertuliskan aksara Mandarin ini berbeda dengan kartu kedatangan yang berisi data diri penumpang dan barang bawaannya.

Setelah itu giliran petugas imigrasi di Bandara Changel menanyai satu-persatu tujuan setiap penumpang.

Xiamen Airlines dengan nomor penerbangan MF-856 dari Jakarta ke Fuzhou itu mengangkut 200 penumpang yang kebanyakan para pekerja dari China. Hanya segelintir penumpang yang berpaspor Indonesia.

Namun semuanya tanpa terkecuali harus mengikuti instruksi petugas bandara di Ibu Kota Provinsi Fujian itu.

Mayoritas penumpang pesawat MF-856 itu tujuan kota-kota lain di China, seperti Beijing, Chengdu, Guangzhou, Shanghai, dan Shijiazhuang. Jadi Fuzhou bukan tujuan akhir.

Selepas serangkaian pemeriksaan, para penumpang diangkut dengan bus menuju hotel yang letaknya tak jauh dari bandara.

Kebanyakan dari mereka mengenakan alat pelindung diri selama berada di dalam pesawat hingga perjalanan menuju hotel tempat karantina.

Di hotel yang menghadap Laut China Timur itulah para penumpang pesawat tersebut memulai karantina untuk 14 hari ke depan.
 
Para penumpang pesawat Xiamen Airlines yang mayoritas berkewarganegaraan China mengenakan alat pelindung diri bersiap memasuki pesawat yang hendak membawanya ke Fuzhou dari Bandar Udara Internasional Soeokarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis, 22 Oktober 2020. (ANTARA/M. Irfan Ilmie)



Satu Positif

Swab test di Bandara Changle pada Kamis (22/10) malam itu bukanlah yang terakhir.

Masih ada dua swab test lagi yang harus diikuti selama masa karantina di hotel.

Kalau dihitung sejak menjelang keberangkatan dari Jakarta, maka para penumpang itu melakukan empat kali swab test dalam jangka waktu kurang dari 20 hari.

Swab test di Bandara Cangle menghasilkan satu kasus positif COVID-19 dari penumpang MF-856 rute Jakarta-Fuzhou.

Komisi Kesehatan Kota Fuzhou pada Sabtu (24/10) merilis data tiga kasus impor COVID-19, masing-masing dari Jepang, Amerika Serikat, dan Indonesia.

Tiga kasus positif itu semuanya tanpa gejala, seperti demam dan suhu badan tinggi.

Memang pesawat Xiamen Airlines nomor penerbangan MF-856 menyumbang satu kasus, namun sayangnya tidak disertai penjelasan mengenai status kewarganegaraannya, apakah dari China atau Indonesia.

Satu kasus positif tersebut tidak membuat para penumpang pesawat yang menjalani karantina di hotel panik, apalagi paranoid.

Kecuali, mungkin bagi mereka yang tempat duduknya di dalam pesawat berdekatan dengan orang tersebut.

Mereka sudah tahu bahwa otoritas di Fuzhou sudah melakukan penanganan yang memadai, baik mereka yang positif maupun negatif.

Apalagi masih ada dua swab test lagi. Ditambah kewajiban setiap penumpang mengukur suhu tubuh secara mandiri dua kali sehari dengan menggunakan termometer yang disediakan di setiap kamar hotel. Hasil ukur ditulis dan diunggah di aplikasi NHC.

Selain melalui aplikasi, petugas hotel juga menelepon setiap kamar untuk menanyakan temperatur tubuh penghuninya, dua kali dalam sehari, yakni setiap pukul 09.00 dan 18.00 waktu setempat.

Petugas keamanan berseragam hitam-hitam berjaga di depan hotel 24 jam penuh, dua personel setiap shifnya.

Demikian halnya dengan mobil patroli, mobil pengangkut alat kesehatan, dan ambulans juga turut disiagakan.

Kebutuhan sehari-hari selama karantina dicukupi. Tiga kali makanan dikirim staf hotel dengan cara diletakkan di depan pintu kamar setiap pukul 08.00, 12.00, dan 18.00 waktu setempat.

Petugas hotel juga melayani permintaan makanan halal yang pada kemasannya ditempel label khusus.

"Selamat menjalani karantina. Hidup seperti babi. Makan, tidur. Bangun tidur, makan lagi," ujar seorang anggota grup WeChat khusus penumpang MF-856 dalam obrolan yang mampu memecahkan kejenuhan rekan lainnya di grup.

"Kalau tidak ingin jenuh di dalam kamar, lihatlah pantai di luar sana," timpal yang lainnya.

Namun seorang anggota lain yang menghuni kamar di lantai bawah memberikan tanggapan dengan menulis, "Bagaimana mau lihat pantai, pemandangan kamarku hanya pohon-pohon tinggi."

China menerapkan kebijakan yang super ketat itu untuk mencegah dan membatasi apa yang mereka sebut dengan kasus impor.

Pemerintahan Xi Jinping itu sangat konsisten dalam menerapkan kebijakan tersebut, prosedur untuk keluar dan masuk China sama ketatnya.

Saat awal COVID-19 merebak di China, setiap orang yang hendak keluar pemeriksaannya pun berlapis.

Apalagi saat ini ketika pengendalian wabah di China berjalan efektif, maka pengamanan pintu masuk wilayah negara berpenduduk terbanyak di dunia itu diperketat.

"Perlindungan personal dan pembatasan secara nasional dalam menghadapi pandemi sangatlah penting," kata Liang Manchun dari Lembaga Penelitian Keamanan Publik di Tsinghua University, Beijing, Sabtu (24/10).

Baca juga: Jalan berliku menuju China (Bagian-1)

 

Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2020