Jakarta (ANTARA) - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi bersama-sama dengan menantunya Rezky Herbiyanto didakwa menerima suap sejumlah Rp45,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016 Hiendra Soenjoto terkait pengurusan dua gugatan hukum.

Gugatan pertama adalah perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi yang terletak di wilayah KBN Marunda kav C3-4.3, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Gugatan kedua adalah perkara antara Hiendra Soenjoto melawan Azhar Umar.

"Terdakwa I Nurhadi selaku Sekretaris MA 2012-2016 bersama-sama terdakwa II Rezky Herbiyono menerima uang sejumlah Rp45,726 miliar dari Hiendra Soenjokto selaku Direktur Utama PT MIT," kata jaksa penuntut umum KPK Wawan Yunarwanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Baca juga: Mantan sekjen MA Nurhadi akan jalani sidang perdana 22 Oktober 2020

Baca juga: Nurhadi dan menantunya didakwa terima gratifikasi Rp37,287 miliar

Baca juga: Jaksa ungkap penggunaan suap eks Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya


Pertama, terkait gugatan PT MIT melawan PT KBN. Gugatan diajukan Hiendra Soenjoto pada 27 Agustus 2010 kemudian pada 16 Maret 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) mengabulkan gugatan PT MIT dan menghukum PT KBN untuk membayar ganti rugi PT MIT sebesar Rp81,778 miliar.

Terhadap putusan PN Jakut itu, PT KBN mengajukan banding dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan PN Jakut sehingga PT KBN mengajukan kasasi.

MA pada 29 Agustus 2013 lalu membuat putusan yang berkebalikan yaitu menghukum PT MIT membayar ganti rugi Rp6,805 miliar secara tunai dan seketika kepada PT KBN.

PT KBN pada 25 April 2014 lalu meminta Ketua PN Jakut memberikan aanmaning/teguran kepada PT MIT untuk memenuhi putusan kasasi selama 8 hari.

Hiendra lalu meminta dikenalkan adik ipar Nurhadi yaitu Rahmat Santoso yang juga paman Rezky yang berprofesi sebagai advokat. Hiendra lalu meminta Rahmat menjadi kuasanya untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.

Pada 20 Agustus 2014, Hiendra memberikan Rp300 juta kepada Rahmat dan cek sebesar Rp5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK PT MIT didaftarkan ke MA.

Rahmat lalu mengajukan PK PT MIT pada 25 Agustus 2014 sekaligus permohonan penangguhan eksekusi dengan alasan sedang diajukan PK dan diajukan gugatan kedua terhadap TP KBN.

Namun beberapa hari kemudian Hiendra menyampaikan ke Rahmat bahwa kuasanya sudah dicabut sehingga dilarang untuk mencairkan cek Rp5 miliar.

"Namun pada kenyataannya, Hiendra Soenjoto meminta terdakwa II yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I untuk mengurus perkara tersebut padahal diketahui saat itu terdakwa II bukanlah advokat," tambah jaksa Wawan.

PN Jakut kemudian mengeluarkan penetapan untuk menangguhkan isi putusan MA sampai adanya putusan PK.

Rezky melalui Calvin Pratama membuat perjanjian dengan Hiendra yaitu Hiendra akan memberikan "fee" pengurusan administrasi terkait penggunaan "depo container" sebesar Rp15 miliar dengan jaminan cek bank QNB Kesawat atas nama PT MIT senilai Rp30 miliar, padahal pada kenyataannya Hiendra Sonjoto tidak punya dana pengurusan perkara.

Untuk merealisasikan kesepakatan pengurusan perkara PT MIT, Rezky menerima uang Rp400 juta dari Hiendra melalui transfer bank sebagai pembayaran uang muka pada 22 Mei 2015.

Rezky selanjutnya meminta uang Rp10 miliar kepada Iwan Cendekia Liman untuk mengurus perkara PT MIT karena Hiendra Soenjoto belum membayar "fee".

"Pada saat itu terdakwa II menyampaikan kepada Iwan Cendekia Liman bahwa perkara sedang di-handle oleh terdakwa I dan uang akan dikembalikan dari dana yang didapat dari terdakwa II yang bersumber dari pembayaran ganti rugi PT KBN kepada PT MIT sejumlah Rp81,778 miliar," tambah jaksa Wawan.

Pada 4 Juni 2015, PN Jakut lalu menolak gugatan kedua PT MIT dan PK PT MIT juga ditolak MA pada 18 Juni 2015. Namun meski gugatan kedua ditolak, Nurhadi melalui Rezky tetap menjanjikan Hiendra akan mengupayakan pengurusan perkara lahan depo containter tersebut.

Iwan Cendekia lalu mentransfer Rp10 miliar pada 19 Juni 2015, setelah menerima uang itu, Rezky lalu menyerahkan cek senilai Rp30 miliar dan 3 lembar cek Bank Bukopin atas nama Rezky.

Pada 20 Juni 2015, Rezky di rumah Nurhadi menyampaikan kepada Iwan Cendekia bahwa perkara PT MIT sudah ditangani Nurhadi dan dipastikan aman.

Perkara kedua adalah gugatan Hiendra Soenjto melawan Azhar Umar. Azhar mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Hiendra Soenjoto di PN Jakarta Pusat (Jakpus) pada 5 Januari 2015 tentang akta Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT MIT dan perubahan komisaris PT MIT yang didaftarkan pada 13 Februari 2015.

Hiendra lalu menghubungi Nurhadi melalui Rezky untuk mengupayakan pengurusan perkara tersebut.

Baca juga: KPK melimpahkan berkas perkara Nurhadi dan menantunya ke pengadilan

Baca juga: Mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya segera disidang


PN Jakpus lalu menolak gugatan yang diajukan Azhar Umar lalu diajukan banding namun PT DKI Jakarta menguatkan putusan PN Jakpus sehingga Azhar mengajukan kasasi.

Hiendra lalu mendesak Nurhadi dan Rezky untuk dimenangkan oleh Hiendra.

Untuk pengurusan perkara itu, Nurhadi dan Rezky telah menerima uang dari Hiendra seluruhnya sejumlah Rp45,726 miliar melalui 21 kali transfer ke rekening Rezky Herbiyono, Calvin Pratama, Soepriyono Waskito Adi dan Santoso Arif pada periode 2 Juli 2015 - 5 Februari 2016 dengan besaran bervariasi dari Rp21 juta sampai Rp10 miliar.

Atas penerimaan itu Nurhadi dan Rezky mempergunakannya untuk berbagai hal seperti membeli lahan sawit di Padang Lawas, ditransfer ke istri Nurhadi yaitu Tin Zuraida, membeli tas Hermes, membeli pakaian, membeli mobil Land Cruiser, Lexus, Alpard beserta aksesoris, membeli jam tangan, membayar utang, berlibur keluar negeri, menukar dalam mata uang asing, merenovasi rumah serta kepentingan lainnya.

Atas perbuatannya, Nurhadi dan Rezky didakwa berdasarkan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Selain didakwa menerima suap, Nurhadi juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp37,287 miliar sehingga total dugaan suap dan gratifikasi yang diterima Nurhadi dan Rezky mencapai Rp83,013 miliar

Sampai saat ini Hiendra Soenjoto masih berstatus buron seusai ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Baca juga: KPK masih telaah bukti terkait dugaan TPPU Nurhadi

Baca juga: KPK konfirmasi adik ipar Nurhadi terkait pengurusan perkara

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020