Jakarta (ANTARA) - Sejak virus corona baru muncul pertama kali di China pada Desember 2019, dan kemudian menyebar dengan cepat melintasi batas negara dan benua, dunia berlomba untuk segera menemukan vaksinnya.

Wabah itu mendorong para peneliti, produsen vaksin, dan perusahaan farmasi di berbagai negara berupaya mengembangkan vaksin untuk memerangi penyakit COVID-19 yang menyerang imunitas serta sistem pernapasan manusia, dan jika fatal dapat menyebabkan kematian.

Indonesia sendiri berupaya menyiapkan vaksin Merah Putih, yang pengembangannya dipimpin oleh Lembaga Biomolekuler Eijkman.

Bibit vaksin yang dibuat dengan menggunakan strain COVID-19 Indonesia itu akan diserahkan kepada PT Bio Farma (Persero) pada Januari 2021 untuk dilakukan tiga tahap uji klinis.

Baca juga: Bio Farma akan lakukan praklinik dan uji klinik vaksin Merah Putih

Baca juga: Bio Farma produksi 16 juta -17 juta dosis vaksin Sinovac per bulan


Mengingat perkembangan vaksin Merah Putih yang baru “separuh jalan” sementara virus corona mewabah begitu cepatnya dan telah menyebabkan lebih dari 12 ribu kematian di Tanah Air, pemerintah perlu mencari sumber-sumber lain untuk memenuhi kebutuhan vaksin dalam jangka pendek.

Lalu bagaimana pemerintah Indonesia mencari sumber-sumber vaksin tersebut?

Jawabannya adalah melalui diplomasi dan kerja sama dengan sejumlah negara, baik secara bilateral maupun lewat mekanisme multilateral yang melibatkan organisasi/lembaga internasional.

Presiden Joko Widodo dalam sidang ke-75 Majelis Umum PBB menekankan pentingnya kesetaraan akses bagi semua negara untuk nantinya mendapatkan pasokan vaksin COVID-19.

Ia juga menegaskan bahwa vaksin akan menjadi game changer dalam perang melawan pandemi.

“Kita harus bekerjasama untuk memastikan bahwa semua negara mendapatkan akses setara terhadap vaksin yang aman dan dengan harga terjangkau,” kata Jokowi.

Baca juga: RI berupaya penuhi kebutuhan vaksin lewat mekanisme multilateral

Secara bilateral, sedikitnya tiga produsen vaksin asal China yaitu Sinovac, Sinopharm, dan CanSino telah sepakat untuk menyediakan konsentrat vaksin COVID-19 bagi Indonesia.

Dengan Sinovac, Indonesia meneken kesepakatan untuk pengadaan 143 juta dosis konsentrat vaksin yang dimulai November 2020.

Sementara dengan Sinopharm dan CanSino, Indonesia memperoleh komitmen masing-masing penyediaan 65 juta dosis konsentrat vaksin dan 15 juta hingga 20 juta konsentrat vaksin.

Ketiga vaksin tersebut masih diuji coba secara klinis untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya sebelum dapat digunakan secara massal.

Dikutip dari “Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma’ruf: Bangkit untuk Indonesia Maju”, Sinovac juga memberikan komitmen pengadaan 3 juta dosis vaksin siap pakai yang akan dikirim secara bertahap pada November dan Desember mendatang.

Sementara Sinopharm akan memberikan 15 juta dosis vaksin untuk Indonesia pada Desember 2020.

Selain dengan China, Indonesia menjalin kerja sama vaksin dengan Uni Emirat Arab (UAE). Dalam perjanjian yang disepakati pertengahan Agustus lalu, perusahaan teknologi G-24 asal UAE menyatakan kesanggupannya untuk memasok 10 juta dosis vaksin bagi Indonesia melalui kerja sama dengan PT Kimia Farma.

Baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama dengan Menteri BUMN Erick Thohir serta tim Kementerian Kesehatan melakukan perjalanan ke Inggris dan Swiss untuk “mengamankan” lebih banyak sumber vaksin COVID-19 bagi Indonesia.

Dari Inggris, kedua menteri membawa “oleh-oleh” komitmen penyediaan 100 juta dosis vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh AstraZeneca.

Pengiriman pertama vaksin tersebut diharapkan dapat dilakukan pada Maret 2021, dan akan dilanjutkan secara bertahap.

Menggunakan desain non-replicating viral vector, vaksin buatan AstraZeneca merupakan salah satu kandidat vaksin COVID-19 yang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tercatat telah memasuki uji klinis tahap ketiga.

Baca juga: Indonesia amankan 100 juta dosis vaksin COVID-19 AstraZeneca

Pemerintah Indonesia memperkirakan sebanyak 9,1 juta vaksin akan tersedia hingga akhir 2020. Namun, kepastian waktu ketersediaannya bergantung pada izin penggunaan darurat yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta rekomendasi kehalalan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama.

Mengingat besarnya penduduk Indonesia yang mencapai 267 juta jiwa, estimasi ketersediaan vaksin yang ada saat ini dianggap belum cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Karena itu, pemerintah berupaya memperoleh akses terhadap vaksin melalui kerja sama multilateral dengan tiga institusi utama pelopor Fasilitas Akses Global Vaksin COVID-19 (COVAX).

Tiga institusi yang dimaksud adalah WHO, Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Wabah (CEPI), serta Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI).

CEPI menyatakan kesiapannya untuk bekerjasama dengan PT Bio Farma dalam pengembangan vaksin COVID-19 setelah melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap kapasitas perusahaan farmasi asal Indonesia tersebut.

Baca juga: Menlu sampaikan kekhawatiran atas kebijakan "due diligence" Inggris

Selain itu, koalisi yang berbasis di Oslo itu juga menyambut baik keinginan Indonesia untuk melakukan kerja sama strategis jangka panjang, antara lain untuk pengembangan berbagai platform teknologi rapid vaccine dan imunoprofilaksis untuk melawan patogen yang tidak diketahui, serta melakukan riset dan pengembangan inovasi vaksin berpotensi epidemi/pandemi.

Sementara dalam kerangka COVAX Advanced Market Commitment (AMC), Indonesia dinilai layak menerima bantuan pembangunan pemerintah (official development assistance/ODA) untuk pengadaan vaksin.

Mengutip laman GAVI, COVAX AMC bertujuan memastikan agar 92 negara berpenghasilan menengah dan rendah yang tidak mampu sepenuhnya membayar sendiri kebutuhan vaksin COVID-19, akan mendapat akses yang sama seperti negara-negara berpenghasilan tinggi dan swadaya, pada saat bersamaan.

Sejauh ini, AMC telah mengumpulkan sekitar 700 juta dolar AS dari target modal awal sebesar 2 miliar dolas AS yang dibutuhkan pada akhir 2020.

Tujuan COVAX adalah untuk mendapatkan dan mengirimkan 2 miliar dosis vaksin yang disetujui pada akhir 2021. Saat ini COVAX memiliki sembilan kandidat vaksin COVID-19, yang menggunakan berbagai teknologi dan pendekatan ilmiah berbeda.

Melalui inisiatif COVAX, pembelian vaksin COVID-19 jika nanti tersedia, akan dilakukan lewat satu pintu yaitu dari Divisi Pengadaan UNICEF di Kopenhagen, Denmark---salah satu sarana pengadaan bantuan kemanusiaan terbesar di dunia.

Jika GAVI bertugas mengkoordinasi pengadaan vaksin, CEPI bertanggungjawab memantau riset dan pengembangkan calon vaksin, maka tugas UNICEF adalah mengkoordinasi pembelian dan pengiriman vaksin ke lebih dari 140 negara termasuk Indonesia, agar setiap negara memiliki akses yang setara dan terjangkau pada anti virus SARS-CoV-2.

“Semua detail penyediaan vaksin (secara) multilateral ini tentunya masih terus dibahas bersama. Indonesia juga secara aktif akan terus memantau perkembangan pengembangan vaksin (secara) multilateral ini,” kata Menlu Retno, tanpa menjelaskan lebih jauh berapa jumlah dosis vaksin yang akan diperoleh Indonesia melalui mekanisme tersebut.

Tidak ada tanda-tanda pertempuran melawan COVID-19 berakhir jika vaksin tak segera ditemukan, tetapi perjuangan akan lebih panjang lagi lagi jika negara-negara tidak memperkuat kerja sama untuk menyelamatkan dunia dari pandemi.

Untuk itu, diplomasi dan semangat multilateralisme perlu terus dijalin agar dunia pada akhirnya bisa menaklukkan pandemi COVID-19.

“Dunia yang sehat, dunia yang produktif, harus menjadi prioritas kita. Semua itu dapat tercapai jika kita semua bekerjasama,” kata Jokowi dalam Sidang Umum PBB, September lalu.

Baca juga: UNICEF mulai amankan ratusan juta jarum suntik untuk vaksin COVID

Baca juga: Menilik upaya global untuk akses merata vaksin COVID-19


Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2020