Pemerintah juga perlu merelaksasi bahkan menghilangkan hambatan, baik tarif dan non tarif dalam perdagangan pangan
Jakarta (ANTARA) - Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai Peringatan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada 16 Oktober ini menjadi momen bagi Indonesia untuk mengevaluasi kebijakan dalam mencapai ketahanan pangan nasional.

Felippa menilai dibutuhkan solusi yang menyeluruh untuk mencapai ketahanan pangan untuk Indonesia, baik dari dalam maupun ke luar. Dari dalam negeri, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Cipta Kerja, penguatan kapasitas petani dan pertanian domestik perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan.

"Sementara itu di sisi lain, pemerintah juga perlu merelaksasi bahkan menghilangkan hambatan, baik tarif dan non tarif dalam perdagangan pangan. Adanya hambatan akan memengaruhi minat investor untuk masuk ke pasar Indonesia," kata Felippa di Jakarta, Jumat.

Implementasi non tariff measures (NTM) atau hambatan non tarif dalam perdagangan merupakan hal yang wajar. Namun jika NTM diimplementasikan secara berlebihan, terutama pada sektor-sektor yang memengaruhi kesejahteraan orang banyak seperti pangan, hal ini dapat berdampak negatif, salah satunya pada angka kemiskinan.

Menurut Felippa, implementasi berbagai bentuk NTM sudah terbukti memengaruhi harga komoditas pangan, terutama komoditas yang tergolong penting.

Hasil penelitian terbaru CIPS menunjukkan implementasi NTM memengaruhi harga komoditas pangan yang memiliki relevansi tinggi terhadap masyarakat Indonesia, yaitu beras dan daging.

Ketahanan pangan Indonesia, berdasarkan Global Food Security Index yang dikeluarkan the Economist Intelligence Unit setiap tahunnya, berada di ranking 62 dari 113 negara. Akibatnya lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan bernutrisi karena terhambat harga yang mahal. Selain menyebabkan rentannya ketahanan pangan, harga yang mahal juga berkontribusi pada angka stunting di Indonesia.

Harga makanan dan kemiskinan memiliki keterkaitan karena pengeluaran terbesar rumah tangga adalah untuk makanan. Bank Dunia menyebutkan rata-rata orang Indonesia menghabiskan 48,55 persen dari pengeluaran mereka untuk makanan dan minuman.

"Kondisi ini membuat orang Indonesia, terutama yang berpenghasilan rendah, sangat rentan terhadap fluktuasi harga pangan. Ketika harga naik, orang-orang yang sudah di ambang kemiskinan dihadapkan pada pilihan untuk menjadi miskin atau kelaparan," kata dia.

CIPS merekomendasikan kajian menyeluruh terhadap semua NTM lintas kementerian dan lembaga di sektor pangan dan pertanian. Kajian ini dapat menjadi acuan untuk melangsingkan regulasi sehingga tidak ada NTM yang tumpang tindih berlebihan.

Dengan mengurangi hambatan perdagangan NTM, masyarakat bisa menikmati pangan berkualitas dan beragam dengan lebih murah.

Baca juga: Hari Pangan Dunia, FAO ingatkan pangan global rapuh akibat pandemi
Baca juga: Peneliti ingatkan pandemi perparah kondisi pelaku usaha pertanian

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020