Baghdad (ANTARA News/AFP) - Seorang prajurit AS tewas dan dua orang cedera dalam serangan roket atau mortir terhadap pangkalan Amerika di Irak tengah, kata militer AS, Minggu.

Prajurit yang tidak disebutkan namanya itu tewas dalam "serangan penembakan tidak langsung" terhadap sebuah pangkalan di provinsi Diyala sebelah utara Baghdad, kata militer AS dalam sebuah pernyataan -- menunjuk pada serangan roket atau mortir.

"Korban-korban yang cedera dibawa ke sebuah fasilitas medis militer terdekat dan kini berada dalam kondisi stabil," kata pernyataan itu.

Militer AS tidak memberikan penjelasan lebih lanjut dalam pernyataan tersebut.

Dalam sebuah pernyataan terpisah, militer AS mengatakan, seorang prajurit Amerika tewas dalam insiden yang tidak berkaitan dengan perang di provinsi Nineveh, Irak utara.

Dengan kematian prajurit-prajurit itu, jumlah korban tewas militer AS di Irak mencapai 4.384 sejak invasi pimpinan AS ke negara itupada 2003, menurut data AFP yang berdasarkan atas angka-angka korban dari situs independen www.icasualties.org.

Pengumuman kematian prajurit-prajurit AS itu disampaikan setelah Irak melaksanakan pemilihan umum 7 Maret yang dinodai rangkaian kekerasan mematikan.

Sebuah kelompok Al-Qaeda, yang menganggap pemilu itu sebagai pengesahan atas pemerintah Irak pimpinan Syiah dan pendudukan AS, memperingatkan Jumat (5/3) bahwa siapa pun yang memberikan suara akan berisiko diserang -- ancaman yang menyoroti situasi keamanan yang sudah tegang.

Serangan-serangan bom, mortir dan roket merenggut 38 jiwa dan mencederai 110 orang selama pelaksanaan pemilihan umum itu pada Minggu (7/3).

Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki mengatakan, serangan-serangan itu "hanya kegaduhan yang menggertak pemilih, namun orang Irak adalah rakyat yang menyukai tantangan dan anda akan melihat bahwa hal ini tidak akan merusak semangat mereka".

Kekerasan dan intimidasi memang telah meningkat dalam pekan-pekan menjelang pemilihan parlemen Irak pada 7 Maret, pemilu yang kedua sejak Saddam Hussein digulingkan dari kekuasaan oleh invasi pimpinan AS pada 2003.

Penculikan dan serangan-serangan mematikan beberapa waktu terakhir ini menggarisbawahi rapuhnya keamanan di Irak menjelang pemilu tesebut.

Hampir 400 orang tewas dan lebih dari 1.000 lain cedera tahun lalu dalam serangan-serangan bom terkoordinasi di sejumlah gedung pemerintah, termasuk kementerian-kementerian keuangan, luar negeri dan kehakiman pada Agustus, Oktober dan Desember.

Kekerasan di Irak menurun secara dramatis pada 2009 ke tingkat terendah sejak invasi pimpinan AS pada 2003, namun kelompok pemantau memperingatkan bahwa pencapaian keamanan tetap mendatar.

Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu bahkan memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum Maret.

Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun ini, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.

Dua serangan bom bunuh diri menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.

Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.

Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.

Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010