Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Lembaga Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dapat meningkatkan investasi di sektor peternakan.

Sebab, pemerintah akan memberlakukan kebijakan baru yang relatif lebih ramah terhadap masuknya investasi dan menghapus sejumlah kebijakan lama yang menyulitkan seperti pengurusan izin usaha ekspor benih dan bibit serta produksi pakan.

"Perizinan berusaha dalam sektor peternakan, seperti ekspor benih dan bibit, produksi pakan, dan sebagainya, kini dipermudah karena dikeluarkan langsung oleh pemerintah pusat. Saat ini nilai investasi di sektor peternakan masih relatif kecil," kata Felippa dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Investor global yang kritik Omnibus Law tidak investasi di Indonesia

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dikutip Kementerian Pertanian, investasi asing di sektor pertanian hanya sebesar 119,0 juta dolar AS atau setara dengan 6,65 persen dari total Penanaman Modal Asing (PMA) pada 2018.

Sedangkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di sektor peternakan pada tahun 2018 hanya Rp866,5 miliar atau hanya berkontribusi sebesar 2,52 persen dari total PMDN di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mencapai Rp34,3 triliun pada tahun 2018.

“Melihat nilai investasi di sektor ini, tentu potensi di sektor ini masih cukup besar dan masih banyak daerah yang bisa dijajaki. Namun tentunya kita juga harus mengamati regulasi yang ada apakah sudah cukup ramah terhadap masuknya investasi. Sejumlah regulasi investasi yang baru di sektor ini diharapkan mampu mendatangkan investasi yang memungkinkan adanya modernisasi peternakan, efisiensi kegiatan produksi dan transfer pengetahuan. Pada akhirnya semua ini akan membawa manfaat untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor,” kata Felippa.

Baca juga: Peneliti: Perlu kejelasan definisi usaha ultramikro di UU Cipta Kerja

Ia mengatakan UU Cipta Kerja membawa sejumlah perubahan pada sektor pertanian, seperti penghapusan ketentuan perizinan impor benih hortikultura, mengizinkan impor benih oleh swasta setelah mendapatkan izin dari pemerintah pusat, mengizinkan impor benih untuk memenuhi kebutuhan benih dan peternak, dan mengizinkan impor obat hewan.

Walaupun pemenuhan kebutuhan hewan ternak dan produk hewan diperbolehkan dari impor, Felippa tetap meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kepentingan peternak.

Ia berpendapat bahwa relaksasi impor kebutuhan ternak, produk hewan, bibit dan benih akan membantu Indonesia dalam menjaga ketersediaan daging di pasar domestik.

Baca juga: Peneliti: UU Cipta Kerja jadikan impor pemenuhan pangan dalam negeri

Data Kementerian Pertanian 2019 menunjukkan, dari total kebutuhan nasional untuk daging sapi sebesar sekitar 688.271 ton pada tahun 2019, produksi dalam negeri hanya dapat berkontribusi sebesar 404.509 ton atau setara 58,7 persen.

Dengan pertimbangan proyeksi pertumbuhan penduduk hingga 284,8 juta pada 2025 oleh UNFPA, dan rata-rata konsumsi daging sebesar 2,2 kilogram perkapita (data OECD 2019), maka kebutuhan akan daging tentunya akan terus naik.

Persyaratan impor kebutuhan hewan ternak dan produk hewan yang lebih mudah akan membantu pasar domestik untuk memenuhi kebutuhan ini. Saat ini Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi daging paling rendah.

Baca juga: Peneliti LIPI: UU Cipta Kerja atur skema pekerja yang lebih produktif

Selain itu, ketersediaan obat hewan akan lebih terjaga karena pemenuhan kebutuhan obat hewan kini bisa berasal dari produksi dalam negeri atau luar negeri.

"Minimnya ketersediaan obat hewan ternak masih menjadi permasalahan yang dihadapi Dinas Peternakan di berbagai daerah di Indonesia,” kata Felippa.

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020