Volume produksi rendah, desain yang tidak adaptif dengan pasar, dan harganya juga tinggi karena masih menggunakan bahan baku impor
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah mendorong industri mebel nasional untuk meningkatkan kinerja ekspor industri yang berorientasi ekspor, salah satunya industri mebel. Upaya itu diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan strategis yang diharapkan akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Menurut data Kementerian Perindustrian, pada tahun 2019 industri mebel termasuk dalam lima industri dengan nilai pertumbuhan terbesar pada tahun 2019, yaitu sebesar 8,35 persen.

Nilai ekspor industri furnitur pun meningkat hingga sebesar 1,95 miliar dollar AS pada 2019, atau naik sebesar 14,6 persen dari tahun 2018.

Namun, di tengah situasi pandemi industri mebel dan kerajinan dihadapkan pada berbagai kendala produksi sehingga diperlukan regulasi yang mendukung dari hingga ke hilir.

Untuk itulah, kalangan industri mebel dan kerajinan meminta kementerian terkait menghilangkan ego sektoral agar tidak menekan kelangsungan hidup sektor industri ini.

Kewenangan yang dimiliki harusnya disinergikan, menjadi kekuatan meningkatkan nilai tambah industri nasional, bukan menjadi penghambat di tengah kerja keras Presiden Jokowi memulihkan ekonomi nasional di era pandemi COVID-19.

Baca juga: RI dinilai tertinggal dalam bisnis kayu dan mebel dunia

Pasalnya, kapasitas dan kemampuan industri bahan baku penolong dalam negeri belum mampu mendukung kebutuhan industri mebel dan kerajinan.

Padahal, peluang industri mebel dan kerajinan sangat besar untuk meraup nilai ekspor hingga 5 miliar dolar AS.

Sejumlah pelaku industri mebel dan kerajinan, telah mampu memenuhi permintaan merek dunia dengan volume ekspor masing-masing berkisar 300-700 peti kemas per bulan.

Terkait dengan masalah yang tengah dihadapi, pelaku industri mebel nasional bersuara agar pemerintah harus meninjau kembali regulasi yang menghambat seperti aturan impor bahan baku penolong.

Persoalan yang dihadapi sejumlah pengusaha mebel dan kerajinan terungkap saat kunjungan kerja Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan Rachmat Gobel, ke sejumlah pusat industri di Jawa Timur, Sabtu (3/10/2020).

“Bukan hanya membuat pelaku industri kelimpungan memenuhi permintaan pasar domestik dan ekspor tepat waktu, regulasi yang ada juga menimbulkan konsekuensi kenaikan biaya produksi sehingga mengerus daya saing,” kata Presiden Direktur PT Integra Indo Cabinet Tbk Halim Rusli.

Menurut Rusli, regulasi impor tersebut membuat pengusaha terpaksa ke sana-ke mari mencarinya seperti seperti baja, kain, dan keramik yang sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Ironinya, bahan baku ini tidak dibuat oleh industri dalam negeri. 

Kalaupun ada, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN)-nya rendah dan secara kuantitas dan kualitas tidak memenuhi kriteria.

“Volume produksi rendah, desain yang tidak adaptif dengan pasar, dan harganya juga tinggi karena masih menggunakan bahan baku impor,” ujar Halim.

Sementara itu, persoalan lainnya juga disampaikan oleh Budianto, Direktur Multi Manao Indonesia yaitu terkait biaya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang tinggi.

Di satu sisi, aturan sertifikasi ini positif menghilangkan stigma buruk bahwa industri kayu olahan di Indonesia merupakan produsen perusak hutan, pengguna kayu illegal. Dengan adanya SVL, pelaku industri juga tidak lagi dikenai persyaratan sertifikasi oleh importir dan memiliki kredibilitas dan akuntabilitas di pasar ekspor.

Masalahnya, biaya untuk memperoleh SVLK ini mahal. Sebagai gambaran, untuk eksportir skala UMKM, setidaknya harus mengeluarkan biaya Rp 30 juta per tahun dan ditambah Rp 110.000 per lembar invoice. Selain itu, UMKM juga kesulitan memenuhi persyaratan Tata Usaha Kayu (TUK).

“Untuk mengatasi seluruh persoalan itu, saya mengusulkan agar pemerintah membantu dengan menerapkan pelaksanaan audit tahunan dengan melakukan audit komunal. Mempermudah perizinan dan menghapus persyaratan legalitas perizinan TUK. Mempermudah persyaratan dokumen impor produk bahan baku penolong,” ujar Budianto.

Baca juga: Kalangan industri mebel: Jangan buka ekspor kran kayu log dan rotan

Ekspor Log

Sementara itu, Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan bahwa saat ini muncul wacana pembukaan kembali kebijakan ekspor kayu gelondongan atau log. Wacana ini diinisiasi oleh Komunitas Rimbawan Nusantara (KRN) dengan alasan harga jual yang lebih tinggi di pasar dunia.

Namun, wacana KRN itu sama sekali tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan.

Ekspor log akan membuat industri mebel dan kerajinan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, ekonomi nasional juga akan kehilangan nilai tambah dari sektor industri hilir kehutanan.

Pelaku industri mebel lainnya, Aron Jongkey mengatakan, data KRN tidak sesuai dengan realita lapangan.

Menurut KRN, harga log kayu di dalam negeri hanya Rp1,2 juta per m3, sementara di pasar ekspor mencapai 250 dolar AS atau setara Rp 3,5 juta. Kenyataannya, harga log dalam negeri bervariasi. Harga log kayu karet misalnya berada di kisaran Rp.700.000 per m3, sementara mahoni rentangnya antara Rp 1,2 juta per m3 sampai dengan Rp 2,5 juta per m3.

“Alasan yang disampaikan KRN tidak tepat, dan tidak melihat kepentingan perekonomian jangka panjang yang jauh lebih besar, kelangsungan industri pengolahan kayu, serta penyelamatan lingkungan,” kata Aron.

Untuk itu, HIMKI meminta DPR agar mengingatkan Kementerian LHK untuk tidak meneruskan wacana ekspor log, demi menjaga kepentingan industri dalam negeri, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan juga harus menolak rencana ini.

“Persoalan ini sangat serius, menyangkut kelangsungan pasokan bahan baku untuk industri hilir sektor kehutanan. Kelangsungan industri sangat strategis, bukan saja akan menghidupi jutaan pekerja, sekaligus memperkuat ekonomi berbasis budaya dan bahan baku lokal,” kata Aron.

Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan Rachmat Gobel, mengatakan, pihaknya bersama seluruh anggota DPR di komisi terkait akan melakukan pembahasan serius soal permasalahan yang dihadapi industri mebel dan kerajinan.

Potensi industri berbasis kayu olahan ini sangat besar. Bukan saja untuk meraup devisa, juga peluang menyelamatkan lapangan kerja dan industri berbasis budaya yang berkualitas.

HIMKI menurut Rachmat Gobel, berkomitmen meningkatkan ekspor mebel dan kerajinan hingga 100 persen dalam lima tahun mendatang.

Peluang ini tidak boleh disia-siakan, dan pemerintah, DPR, serta pelaku industri harus bersinergi membajak momentum peluang ekonomi pasca krisis pademi COVID-19.

Legislator dari Nasdem ini pun, berjanji akan mengatakan tiga kementerian terkait yaitu Kemenperin, Kementerian Perdagangan dan Kementerian LHK untuk melihat aspek masalah yang bisa diselesaikan.

“Kita harus menghilangkan berbagai kendala regulasi, minimal meninjau ulang hal-hal yang menghambat. Apa yang bisa dioptimalkan dari kekuatan industri yang berbasis bahan baku lokal. Jangan sampai keunggulan kompetitif maupun komparatif itu justru untuk memperkuat produsen negara pesaing,” katanya.

Baca juga: Perdagangan industri furnitur dan kerajinan surplus
Baca juga: Mahasiswa Unja rintis usaha rak bunga dari sisa limbah kayu

 

Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020