Jakarta (ANTARA) - "Dari hasil pantauan kami di lapangan, seluruh pasangan bakal calon yang hendak mendaftar, melanggar protokol kesehatan COVID-19, seperti membawa massa dengan jumlah besar, berdesakan dan ada juga yang tidak menggunakan masker."

Pernyataan itu disampaikan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Teguh Haryanto, pada Minggu (6/9/2020), usai berakhirnya tiga pasangan bakal calon kepala daerah yang resmi mendaftar menjadi calon kepala daerah pada Pilkada 9 Desember 2020 di daerah itu.

Apa yang terjadi di Kabupaten Sukabumi itu hanyalah salah satu dari banyaknya kasus serupa, yang terjadi pada hari terakhir pendaftaran pasangan calon kepala daerah di seluruh Indonesia, yang akan bertarung pada 9 Desember nanti.

Tak hanya di Sukabumi, kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Koordinator Divisi Pengawasan, Humas dan Hubungan Lembaga Bawaslu Kabupaten Manggarai Herybertus Harun menyesalkan calon peserta Pilkada 2020 yang mengabaikan protokol kesehatan dengan membawa massa dalam jumlah yang banyak saat mendaftar ke kantor KPU setempat

"Sejak awal kami sudah berikan imbauan, tetapi tidak ditindaklanjuti oleh setiap pasangan calon yang mendaftar ke KPU, ternyata tak diindahkan oleh mereka," katanya.

Kejadian di Sukabumi dan Manggarai itu didukung Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mengingatkan adanya temuan pelanggaran protokol kesehatan pada periode pendaftaran peserta pilkada serentak di 270 daerah, 4-6 September 2020.

IDI menyebutkan banyak pasangan calon di berbagai daerah memancing kerumunan dengan melakukan konvoi atau arak-arakan, seperti di Kota Medan, Kota Solo, Kabupaten Karawang, dan Kota Surabaya.

Sebelumnya, suara-suara yang mengingatkan berpotensinya terjadi penambahan klaster baru penularan COVID-19 dari penyelenggaraan pilkada tersebut sudah banyak disampaikan, baik dari kalangan medis maupun nonmedis.


Dicermati Kepala Negara

Bukan saja dari kalangan umum, Presiden Joko Widodo pun mencermati pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan sejumlah bakal pasangan calon pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.

"Saya mengikuti situasi di lapangan, masih banyak pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan bakal pasangan calon," kata Kepala Negara.

Dalam Rapat Terbatas "Lanjutan Pembahasan Persiapan Pelaksanaan Pilkada Serentak" melalui konferensi video di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (8/9), Presiden merinci pencermatannya itu, yakni ada bakal pasangan calon yang melakukan deklarasi dengan menggelar konser yang dihadiri ribuan orang, bakal pasangan calon yang mengundang kerumunan serta bakal pasangan calon yang menghadirkan massa dalam kegiatannya.

Atas kondisi tersebut Presiden menegaskan pilkada harus dilakukan dengan tahapan normal baru sekaligus menegaskan kepada semua pihak bahwa keselamatan dan kesehatan masyarakat adalah segala-segalanya.

Karena itu, Presiden mengajak penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu, aparat pemerintah, jajaran keamanan, penegak hukum, TNI/Polri, tokoh masyarakat dan tokoh organisasi untuk aktif bersama-sama mendisiplinkan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan.

Sehari (7/9) sebelumnya, Presiden dalam Sidang Kabinet Paripurna bertajuk "Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi untuk Penguatan Reformasi Tahun 2021" meminta agar para menteri Kabinet Indonesia Maju membuat langkah-langkah untuk mencegah penyebaran COVID-19 di klaster perkantoran, keluarga dan pilkada.

"Hati-hati, saya perlu sampaikan yang namanya klaster kantor, klaster keluarga, hati-hati, yang terakhir juga klaster pilkada, hati-hati, agar ini selalu diingatkan," kata Jokowi dalam sidang kabinet yang diikuti langsung oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin, para Menteri Kabinet Indonesia Maju serta sejumlah pejabat terkait, termasuk Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo.

Secara khusus, untuk klaster pilkada, Presiden meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Kapolri Jenderal Pol Idham Azis untuk memberikan tindakan tegas karena aturan main di pilkada sudah jelas di Peraturan KPU (PKPU)-nya.

"Jadi ketegasan saya kira Pak Mendagri dengan Bawaslu agar ini betul-betul diberi peringatan keras," kata Presiden.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dr Ratri S Survivalina saat memberikan keterangan perkembangan COVID-19, di Kantor Dinkes Boyolali. Pada hari Sabtu (5/9/2020) dilaporkan bahwa tidak kurang dari 69 petugas Bawaslu Boyolal terkonfirmasi positif COVID-19(FOTO ANTARA/Bambang Dwi Marwoto)


Kekhwatiran tentang pilkada menjadi klaster baru itu juga dikemukakan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo.

Ia menyebut tahap persiapan hingga pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 jangan sampai menjadi klaster baru penyebaran COVID-19.

"Persiapan Pilkada 2020 mulai mengkhawatirkan karena dari rangkaian kegiatan itu telah terdeteksi banyak kasus COVID-19. Pada hari Sabtu (5/9), dilaporkan bahwa tidak kurang dari 69 petugas Bawaslu Boyolali,Jawa Tengah, terkonfirmasi positif COVID-19," kata Bamsoet, panggilan akrabnya.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah daerah (pemda) makin tegas menegakkan protokol kesehatan karena terus meningkatnya kasus COVID-19 dan proses persiapan Pilkada 2020 telah berlangsung.


Rekomendasi MER-C

Terkait dengan potensi pilkada menjadi klaster baru penularan COVID-19, organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak untuk korban perang, konflik dan bencana alam yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan kesehatan "Medical Emergency Rescue Committee" (MER-C) Indonesia ikut menyerukan akan kewaspadaan yang tinggi.

Melalui konferensi pers secara daring pada Kamis (1/10/2020) petang, Ketua Presidium MER-C dr Sarbini Abdul Murad didampingi anggota presidium dr Yogi Prabowo, Sp.OT dan dr Arief Rachman, Sp.Rad, organisasi itu memberi judul "Abaikan Risiko Kemanusiaan Jatuh Korban Jiwa, Pilkada di Tengah Pandemi COVID-19 adalah Kejahatan Kemanusiaan: Pelajaran Pilpes 2019 tanpa COVID-19 yang Timbulkan 800 Lebih Korban Jiwa KPPS"

MER-C menyatakan pandemi COVID-19 masih melanda dunia dan Indonesia, di mana kasus positif yang semakin bertambah dari hari ke hari hingga mencapai angka 300 ribu, dengan angka kematian akibat COVID-19 mencapai lebih dari 10.000.

"Hal ini harusnya membuat kita semua lebih berhati-hati menyusun langkah. Segala upaya pencegahan dilakukan untuk mengurangi transmisi penularan dan mencegah kematian, baik oleh pemerintah maupun masyarakat," kata Sarbini Abdul Murad.

Karena itu, kegiatan sehari-hari, mulai dari kegiatan pendidikan, keagamaan, bahkan bekerja dilakukan secara virtual.

Pilkada serentak yang akan diselenggarakan akhir 2020 mengancam keselamatan warga, meningkatkan risiko transmisi penularan COVID-19, terlebih kegiatan pilkada masih belum bisa dilakukan secara virtual, sehingga masih terjadi pengumpulan orang, baik kegiatan kampanye ataupun kegiatan pencoblosan itu sendiri.

"Masih segar dalam ingatan kita tentang penyelenggaraan Pilpres 2019 yang menimbulkan lebih dari 800 korban jiwa petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan ribuan yang jatuh sakit. Harga yang begitu mahal untuk sebuah resiko penyelenggaraan pesta demokrasi," katanya.

Banyak spekulasi berkembang mengenai penyebab kematian ratusan petugas KPPS, namun yang tampak kasat mata adalah faktor beratnya dan lamanya pekerjaan yang diemban oleh KPPS sehingga menyebabkan kesakitan dan kematian.

Situasi diperburuk dengan kesiapan penanganan medis yang kurang. Sistem rujukan kegawatdaruratan medis yang dipersiapkan belum mampu menangani para petugas KPPS yang mendadak sakit. Banyak KPPS yang mengeluh sakit dada yang disinyalir sebagai gangguan jantung, lalu dibawa ke fasilitas kesehatan, seperti pukesmas atau bahkan tidak berobat, dan kemudian tidak berhasil diselamatkan karena fasilitas kesehatan tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menangani gangguan jantung.

Kemudian juga tidak adanya call center dan sistem ambulans yang bisa bergerak cepat apabila ada KPPS yang jatuh sakit.

Simpulannya adalah sistem kegawatdaruratan medis yang dibangun belum siap.

Karena itu, MER-C menyoroti Pilkada 2020 yang akan melibatkan 600 ribu TPS sehingga berpotensi menjadi kluster penularan COViD-19 di seluruh Indonesia.

MER-C menilai memaksakan penyelenggaraan pilkada di tengah situasi pandemi COVID-19 yang masih berlangsung berpotensi menimbulkan korban yang signifikan karena dua hal penting, yaitu pertama, situasi pandemik yang belum menunjukkan tanda-tanda usai dan kedua, ketidaksiapan sistem rujukan kesehatan dan kegawatdaruratan.

Bahkan COVID-19 sudah menginfeksi beberapa calon kepala daerah, ketua KPU dan petingginya sehingga kondisi ini harus dijadikan peringatan dan sinyal bahwa pilkada harus ditunda.

Apabila KPU tidak mengindahkan kondisi pandemik dan risiko jatuhnya korban, artinya adalah mengabaikan nyawa manusia dan bisa menjadi kejahatan kemanusiaan dan tentu saja akan menambah catatan hitam KPU yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

Karena itulah, MER-C menyampaikan empat rekomendasi. Pertama, penundaan pilkada sampai kondisi pandemik membaik. Kedua, menyiapkan sistem rujukan kegawatdaruratan dan kesehatan yang memadai sebagai upaya mitigasi jatuhnya korban jiwa, seperti pada Pilpres 2019.

Ketiga, KPU dan pemerintah bisa menahan diri demi keselamatan masyarakat. Keempat, KPU mempersiapkan sistem pilkada yang mengurangi pengumpulan orang dan kerja berat para petugas KPPS, serta KPU harus mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditetapkan dan melakukan modifikasi sistem pilkada.

Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Sumber Daya Manusia Kesehatan dr Mariya Mubarika menyatakan bahwa berdasarkan data Kemenkes hingga Selasa (22/9/2020) terdapat sebanyak 1.146 klaster penularan COVID-19 di seluruh Indonesia.

Dengan ribuan data klaster tersebut agaknya seruan kewaspadaan mengenai potensi baru penularan, termasuk dari pilkada, menjadi keseriusan lembaga penyelenggara untuk memikirkan dengan matang, dengan rujukan aspek keselamatan manusia, dari seruan, saran, masukan dan rekomendasi dari otoritas kesehatan yang memiliki kewenangan untuk menyampaikannya itu.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020