Hong Kong (ANTARA) - Keputusan hakim di Hong Kong yang mempertahankan aturan pembantu rumah tangga (PRT) dari luar negeri wajib tinggal bersama majikan, pada Selasa memancing kemarahan warga dan pembela hak buruh.

Alasannya, aturan itu justru berisiko menjerumuskan buruh migran, khususnya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, bekerja dalam kondisi yang mengarah pada praktik perbudakan modern.

Ketentuan wajib tinggal di rumah majikan itu berdampak pada 370.000 pekerja domestik, yang sebagian besar merupakan perempuan asal Filipina dan Indonesia. Aturan itu lama dikecam banyak pihak karena diskriminatif dan tidak manusiawi —sebab para PRT harus bekerja dan siaga 24 jam tiap harinya.

Vonis pengadilan yang dibacakan oleh hakim, Senin (21/9), berawal dari gugatan yang dilayangkan oleh seorang warga Filipina Nancy Lubiano tiga tahun lalu.

Lubiano berpendapat aturan itu melanggar Undang-Undang Dasar dan hak-hak buruh.

Namun, Pengadilan Banding menolak pembelaan warga Filipina itu dan menegakkan kembali putusan dari pengadilan tingkat satu, yang menetapkan bahwa kewajiban tinggal dalam rumah majikan tidak terkait langsung dengan eksploitasi.

“Putusan ini sangat mengecewakan dan tidak dapat diterima,” kata Ketua Rakyat Filipina Bersatu, Dolores Balladares, yang organisasinya mewakili buruh migran asal Filipina.

“Putusan itu diskriminatif terhadap pekerja domestik dari luar negeri. Putusan itu menunjukkan kami diperlakukan layaknya warga kelas dua, sama halnya dengan perbudakan modern,” kata dia saat diwawancarai via telepon oleh Thomson Reuters Foundation.

Sejumlah organisasi buruh telah memperingatkan bahwa putusan itu dapat menghambat pekerja domestik melaporkan kerja paksa. Menurut kajian yang dibuat Justice Centre Hong Kong pada 2016, satu dari enam PRT migran di Hong Kong mengalami praktik tersebut.

Otoritas Kota Hong Kong “menyambut baik” putusan pengadilan, yang menegaskan kewajiban PRT tinggal bersama majikan, sebagai aturan yang sah.

Seorang juru bicara pemerintah mengatakan para PRT migran itu telah mengetahui ketentuan akomodasi sebelum menerima pekerjaan di Hong Kong. Ia menambahkan pemerintah selalu “berusaha melindungi hak” para pekerja migran.

Manajer Umum Mission for Migrant Workers, Cynthia Abdon-Tellez, mengatakan kewajiban itu diskriminatif karena hanya berlaku untuk buruh migran. Alhasil, banyak dari mereka yang hidup dalam kondisi tak layak.

Mission for Migrant Workers merupakan badan amal yang memperjuangkan hak buruh migran.

Hasil survei Mission for Migrant Workers pada 2017 menunjukkan hampir separuh dari warga asing pekerja rumah tangga tidak memiliki ruangan tersendiri. Bahkan, beberapa dari mereka dipaksa tidur di dapur dan di balkon apartemen yang sempit.

“Mereka hidup di lemari, toilet, bahkan di celah sempit di atas kulkas atau oven --tempat mana pun yang muat. Dalam beberapa kasus ekstrem, mereka tinggal di tempat yang terlihat seperti rumah anjing,” kata Abdon-Tellez.

Perlindungan terhadap pekerja rumah tangga di Hong Kong masih lebih baik daripada di negara lain di Asia. Pasalnya, otoritas Kota Hong Kong menetapkan upah minimum yang layak dan mewajibkan majikan memberi pekerjanya libur satu hari tiap minggu.

Namun, perlakuan buruk terhadap PRT di Hong Kong mulai menarik perhatian publik sejak kasus penyiksaan yang dialami Erwiana Sulistyaningsih, seorang PRT asal Indonesia pada 2014. Erwiana dipukuli dan disiram air mendidih oleh majikannya.

Sumber: Reuters

​​​​​​
Baca juga: Buruh migran Indonesia asal Madiun tewas di Hong Kong

Baca juga: KJRI Hong Kong berlakukan kontrak mandiri bagi buruh migran


 

Mutlak, Perlindungan Bagi Pekerja Migran

 

Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020