Kupang (ANTARA) - Kasus positif COVID-19 di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak pemberlakuan adaptasi kebiasaan baru yang dimulai 15 Juni 2020 mengalami peningkatan yang cukup mengkhatirkan.

Hingga Jumat, (11/9), jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di wilayah itu tercatat 217 orang, dengan angka kematian lima orang dan sembuh 170 orang.

Jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 ini mengalami kenaikan lebih dari 100 persen, dari sebelum pelaksanaan adaptasi kebiasaan baru di provinsi berbasis kepulauan itu pada 15 Juni 2020, yakni sebanyak 108 kasus positif, 43 orang sembuh dan seorang meninggal dunia.

Begitupun dengan daerah penyebaran virus Corona jenis baru (COVID-19), bertambah menjadi 17 kabupaten dari sebelum pelaksanaan adaptasi kebiasaan baru hanya 13 kabupaten.

Peningkatan kasus positif COVID-19 di daerah itu boleh jadi karena akses transportasi udara, laut dan darat ke wilayah-wilayah di NTT mulai dibuka sejak pemberlakuan adaptasi kebiasaan baru.

Sementara protokol kesehatan tidak lagi dipatuhi secara benar dan konsisten oleh masyarakat.

Ketua Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dr Teda Litik mengatakan, peningkatan kasus terkonfirmasi positif COVID-19 selama era adaptasi kebiasaan baru, karena masyarakat tidak patuh pada protokol kesehatan.

"Saya berbicara sebagai dokter tentu merasa sangat prihatin dengan gambaran di depan mata seperti saat ini, dimana sejak era kebiasaan baru pada 15 Juni sepertinya kehendak bebas masyarakat menjadi panglima sekehendak mereka saja," katanya.

Protokol kesehatan tidak lagi dipatuhi secara benar dan konsisten oleh masyarakat, kata Teda Litik.

"Lihat saja pada acara pesta, undangannya masuk tanpa cuci tangan, tanpa mengenakan masker, ruangan penuh dan bergerombol tanpa jaga jarak," katanya.

"Seharusnya kan pengelola gedung pesta yang bertanggung jawab, tapi itu tidak terjadi," katanya menambahkan.
Antrean penumpang di pelabuhan tidak lagi ada jarak (ANTARA/Bernadus Tokan)


Sementara dari pihak pemerintah juga belum ada monitoring dan evaluasi di lapangan tentang pelaksanaan adaptasi kebiasaan baru, apalagi menjatuhkan sanksi kepada mereka yang melanggar.

Dia menambahkan, semuanya kembali kepada kesadaran masyarakat dan ketegasan pemerintah dalam penegakan protokol kesehatan.

"Sebab dampak ekonomi berkepanjangan akan berlangsung apabila kondisinya seperti ini. Apalagi NTT ingin mempromosikan pariwisata, tapi kasus positif bertambah terus maka wisatawan akan ragu-ragu untuk berkunjung," katanya.

Dia juga mengharapkan pemerintah daerah di provinsi berbasis kepulauan itu, untuk tegas dalam menegakkan aturan mengenai pelaksanaan protokol kesehatan selama masa adaptasi kebiasaan baru.

Sikap tegas pemerintah ini penting untuk mencegah penyebaran COVID-19 di daerah itu yang lebih luas, kata Teda Litik.

Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Cabang Nusa Tenggara Timur (NTT) Dr Pius Weraman MKes mengatakan, dengan memperhatikan penambahan kasus sesuai catatan pada minggu terakhir sejumlah 16 kasus dan pada Senin (12/9) 217 kasus, cukup menyita perhatian.

Menurut dia, sejumlah rekomendasi telah dikeluarkan oleh tim gugus tugas Provinsi NTT, tetapi perlu dipertegas bahwa kita semua baik pemerintah dan masyarakat belum memiliki pemahaman yang sama tentang penyakit dan vaksin yang belum ditemukan.

Dia menambahkan, menjadi tantangan terberat adalah belum ada penyamaan persepsi sehubungan dengan kejadian kasus COVID-19.

"Yang dimaksud dengan penyamaan persepsi pemerintah dan masyarakat adalah bagaimana ketaatan protokol kesehatan," katanya menjelaskan.

Disamping itu, adanya pernyataan dari berbagai kalangan baik dari pemerintah dan masyarakat yang berpengaruh, dengan menggiring semua orang untuk tidak taat lagi terhadap protokol kesehatan.

"Memang sungguh konyol ketika orang menganggap remeh terhadap COVID-19 karena ketidaktahuan terhadap bentuk dan proses penularan virus ini," katanya.

Karena itu, menjadi tugas bersama kita baik pemerintah dan masyarakat yang lebih paham tentang kesehatan untuk lebih patuh pada protokol kesehatan.

Selain itu, pemerintah kabupaten/kota di NTT perlu mengambil langkah tegas dalam mengendalikan penyebaran COVID-19 di daerah itu.

Pengendalian penyebaran COVID-19 ini dapat dilakukan melalui tim gugus tugas di tingkat desa/kelurahan.


Perlu evaluasi

Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Kolfidus mengatakan, pemerintah daerah perlu segera melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan adaptasi kebiasaan baru, yang diterapkan di daerah itu sejak 15 Juni 2020.

Evaluasi terhadap pelaksanaan adaptasi kebiasaan baru ini penting, mengingat laju pertambahan kasus COVID-19 di daerah itu mulai mengkhawatirkan.

"Sejak awal kita sudah sarankan agar pengendalian atas penanganan pandemi COVID-19 tidak boleh kendur, karena memang, laju pertambahan kasus secara nasional masih tinggi," katanya.

Pengendalian dan penanganan ini, kata dia, termasuk bagaimana gugus tugas terus meningkatkan pengawasan terhadap pelaku perjalanan dan pintu-pintu masuk, baik udara dan laut.

Salah satunya adalah pintu masuk strategis, pintu masuk destinasi wisata, kata Wakil Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPRD NTT ini.

"Ini yang harus tetap dipertahankan frekuensi pengawasan, meskipun telah dilakukan kebijakan adaptasi kehidupan baru," katanya.

Terkait hal itu, dia mengimbau, semua pihak harus kembali menyusun energi positif dengan selalu taat pada disiplin kesehatan COVID-19, karena kasus tambahan justru berasal dari kluster transmisi lokal.


Perketat pintu masuk

Koordinator Bidang Perhubungan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi NTT, Isyak Nuka mengatakan, pihaknya akan memperketat penerapan protokol kesehatan di pintu-pintu masuk, baik udara, laut maupun darat untuk mencegah peningkatan kasus COVID-19 di wilayah itu.

"Kita akan koordinasi lagi untuk memperketat penerapan protokol kesehatan di pintu-pintu masuk," kata Kepala Dinas Perhubungan NTT ini.

Menurut dia, peningkatan kasus yang berasal dari pelaku perjalanan karena adanya kelemahan pengawasan terhadap para operator baik udara maupun laut.

"Pendapat saya kelemahan pengawasan terhadap para operator baik udara maupun laut," katanya.

Dia mengatakan penerapan normal baru tidak mengurangi apalagi menghilangkan sama sekali kewajiban penerapan protokol kesehatan seperti pakai masker, cuci tangan dan jaga jarak.

Khusus di pelabuhan dan bandara, bagi pendatang yang masuk wilayah NTT mesti dilengkapi dengan keterangan rapid test reaktif negatif.

Selain itu dilakukan pemeriksaan suhu dan di pelabuhan laut, barang-barang bawaan wajib disemprot cairan disinfektan. Jika ditemukan gejala, mestinya mereka dikarantina dulu di tempat khusus, dan bukan diminta untuk melakukan karantina mandiri.

"Ini semua tidak dijalankan secara ketat. Mungkin sudah bosan dan jenuh atau menganggap remeh," katanya menambahkan.

Karena itu, dia mengatakan, akan segera melakukan koordinasi lagi untuk penerapan protokol di pintu-pintu masuk.

Tambahan kasus dan daerah penyebaran COVID-19 di wilayah itu sudah seharunya menjadi evaluasi penting atas posisi kesiagaan menghadapi dampak COVID-19.

Evaluasi ini penting sehingga semua orang harus bertanggung jawab atas disiplin kesehatan, tanggung jawab terhadap kesehatan diri dan kesehatan orang lain, namun harus dikendalikan dan dipimpin oleh pemerintah melalui gugus tugas.

Suatu sikap lengah dan euforia hanya akan berdampak negatif bagi kita semua, karena itu pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota agar segera kembali memegang kendali atas adaptasi kebiasaan atau tatanan hidup yang baru di NTT.

Baca juga: Kemendagri pantau sosialisasi PKPU Protkes COVID Pilkada di 270 daerah
Baca juga: Pemprov Babel minta paslon kampanyekan protokol kesehatan COVID-19
Baca juga: Bupati Jember ditegur Mendagri karena melanggar protokol kesehatan
Baca juga: Seorang bakal calon bupati Ngada terkonfirmasi positif COVID-19

***3***

Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2020