Jakarta (ANTARA News) - Haram tidaknya pelurusan rambut (rebonding), foto pranikah (prewedding), dan wanita menjadi tukang ojek,  kembali kepada keyakinan masyarakat dalam menyikapi hal itu.

Demikian disampaikan juru bicara Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Nabil Haroen, terkait keputusan Forum Musyawarah Santri Putri se-Jawa Timur yang mengharamkan rebonding , foto pranikah, dan wanita menjadi tukang ojek, belum lama lalu.

Disela-sela Silaturahmi Nasional Keluarga Besar Pondok Modern Gontor di Jakarta Minggu, Haroen mengatakan bahwa keputusan forum santri itu didasarkan pada kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.

"Keputusan itu didasarkan pada kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, apakah hasil keputusan itu akan diikuti dan diyakini tiap-tiap orang dalam masyarakat, itu dikembalikan kepada masyarakat lagi," katanya.

Forum yang mengharamkan dan melarang beberapa hal yang sering dilakukan wanita itu dihadiri 258 peserta yang berasal dari 46 Pondok Pesantren besar di Jawa Timur.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, hukum meluruskan rambut atau rebonding sangat terkait dengan konteksnya, namun hukum asalnya mubah dalam arti dibolehkan.

"Jika tujuan dan dampaknya negatif maka hukumnya haram. Sebaliknya, jika tujuan dan dampaknya positif maka dibolehkan, bahkan dianjurkan," kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr Asrorun Ni`am Sholeh.

Menurutnya, rebonding sebagai sebuah cara untuk berhias diri, hukum asalnya dibolehkan sepanjang tidak menyebabkan bahaya, baik secara fisik, psikis, maupun sosial.

Dalam perspektif hukum Islam, menurut dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, menjaga kebersihan dan keindahan sangat dianjurkan.

"Jika rebonding ditempatkan dalam konteks merawat tubuh dan menjaga keindahan, maka justru dianjurkan. Syarat lainnya, obat yang digunakan harus halal," katanya.

Lebih lanjut Ni`am menyatakan, kontroversi hukum haram rebonding yang dihasilkan Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri se-Jawa Timur di Lirboyo, Kediri, beberapa hari lalu harus dipahami lengkap dengan konteksnya agar tidak menyesatkan masyarakat.

Menurutnya, penetapan haramnya rebonding bagi perempuan yang belum beristri dimungkinkan jika rebonding sebagai sarana terjadinya kemaksiatan.

"Jika tujuannya baik, misalnya agar rambut mudah dirawat dan dibersihkan, atau lebih mudah dalam pemakaian jilbab, rebonding justru dianjurkan. Bahkan bisa jadi wajib," kata direktur Al-Nahdlah Islamic Boarding School Depok itu.

Dikatakannya, pemahaman hukum rebonding secara utuh sangat perlu untuk memberikan kepastian di tengah masyarakat sehingga tidak menyebabkan keresahan.

"Jangan sampai ini disalahpahami atau diinformasikan secara salah, sehingga membuat masyarakat resah," katanya.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010