Jakarta (ANTARA News) - Kapal riset termodern milik Amerika Serikat (AS), Okeanos, bersama kapal riset Baruna Jaya akan memulai ekplorasi Juni 2010 mendatang untuk meneliti biodiversitas atau keanekaragaman hayati dan kekayaan mineral di laut utara Sulawesi.

"Banyak sumber daya laut yang kita sendiri belum banyak ketahui, karena itu perlu kerjasama karena kemampuan kita belum ada. Kerjasama (eksplorasi) ini lebih ke (sumber daya) mineral," kata penasihat sekaligus pakar hukum kelautan, Hasyim Djalal, di Jakarta, Senin.

Usai mengikuti pertemuan Menteri Kelautan dan Perikanan dengan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Hasyim mengatakan, Indonesia diyakini memiliki kekayaan sumber daya laut yang berlimpah, mulai dari mineral, energi, juga spesies yang tidak dimiliki negara lain.

Oleh karenanya, perlu dilakukan eksplorasi untuk mengetahui apakah benar sumber daya itu. Selanjutnya akan dilakukan penelitian mengenai keekonomian sumber daya tersebut sebelum dilakukan eksploitasi.

Indonesia, ungkap dia, telah melakukan kerjasama penelitian di sektor kelautan dengan banyak negara, termasuk dengan Cina dan Jepang. Penelitian terkait potensi mineral di dasar laut sudah banyak dilakukan, dan kerjasama dengan NOAA lebih mengarah dengan penelitian mineral.

Mineral terbagi dua yakni dalam bentuk cair maupun padat. Jika sumber daya mineral dalam bentuk padat sudah dapat diketahui di sepanjang pantai, seperti timah di Bangka Belitung, maka untuk di dasar laut belum dapat diketahui.

Lebih lanjut, Hasyim menjelaskan bahwa melalui perkembangan ilmu pengetahuan diketahui bahwa sumber daya mineral strategis banyak terdapat di sea mount di laut dalam.

Di Pasifik Barat, lanjut dia, ada 50.000 sea mount, begitu pula di Pasifik Selatan.

"Kalau gunung api kita sudah tahu letaknya di mana, tapi kalau sea mount kita belum banyak tahu," ujar dia.

Lokasi sea mount di wilayah Indonesia, menurut Hasyim, banyak diketahui terdapat di Samudera Hindia. Dimana arus laut yang melalui palung dan sea mount di wilayah tersebut meninggalkan deposit mineral-mineral yang dalam jutaan tahun menghasilkan bahan mineral seperti emas, nikel, cobal.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan, tidak ada kekhawatiran dari pemerintah dari kerjasama ini mengingat saat ini semua dilakukan serba transparan.

"Penelitian ini kita lakukan secara terbuka saja, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Kita tidak boleh khawatir soal ini, atau kita akan rugi sendiri kalau ternyata memang di dasar laut kita memilikikandungan gas dan kita tidak tahu," ujar dia.

Terkait dengan pendanaan, Fadel membenarkan bahwa AS disela-sela Konfrensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) telah berkomitmen melakukan pendanaan sebesar 1,6 juta dolar AS.

Namun demikian penelitian kerjasama belum pernah dilaksanakan, sehingga tidak ada komitmen pendanaan lain dari AS terkait kerjasama ini.

Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Demokrat, Herman Khaeron berpendapat bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, harus meminta persetujuan dengan DPR sebelum memutuskan suatu kerjasama, terlebih lagi bila terkait dengan kerjasama multilateral.

"Kerjasama itu harus diperjelas, kerjasama seperti apa. Jangan sampai kejadian kerjasama Depkes (Departemen Kesehatan) dengan Namru yang tidak diketahui dewan terulang lagi," ujar dia.

Indonesia memiliki panjang pantai 90.000 kilometer (km) lebih, pengelolaannya tidak boleh berdasarkan pada personal needs saja, ujar Herman. Karena itu harus jelas siapa yang akan melakukan eksplorasi laut dalam, karena banyak negara yang dapat diajak kerjasama bukan satu negara saja.

Herman mengingatkan agar Kementrian Kelautan dan Perikanan bertindak cermat, sehingga jangan sampai hasil riset dimiliki satu pihak, dan hanya dapat dieksplorasi oleh satu pihak saja.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menurut dia, telah memiliki kemampuan
untuk riset dan justru banyak dimanfaatkan oleh perusahaan migas asing yang beroperasi di tanah air.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010