Meningkatkan kinerja pajak tidak bisa secara parsial hanya Direktorat Jenderal Pajak atau Kementerian Keuangan, harus koordinasi dengan kementerian lain di antaranya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Perdagangan harus ada sinergi
Jakarta (ANTARA) - Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengharapkan Hari Pajak menjadi momentum mendorong sinergi antarlembaga dan kementerian untuk mendongkrak penerimaan negara dari sektor perpajakan.

"Meningkatkan kinerja pajak tidak bisa secara parsial hanya Direktorat Jenderal Pajak atau Kementerian Keuangan, harus koordinasi dengan kementerian lain di antaranya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Perdagangan harus ada sinergi," katanya di Jakarta, Selasa.

Apalagi saat perekonomian nasional dan global sedang diuji pandemi COVID-19, lanjut dia, sinergi memegang peranan penting khususnya dalam upaya melepaskan tekanan terhadap penerimaan perpajakan.

Menurut dia, penerimaan pajak saling terkait satu dengan lainnya misalnya penerimaan pajak sektoral, sebagian besar dikontribusikan oleh sektor manufaktur yang memberikan porsi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat perekonomian Indonesia pada triwulan pertama tahun ini masih didominasi lapangan usaha industri pengolahan atau manufaktur sebesar 19,98 persen.

Namun, kata dia, kinerja sektor manufaktur pascareformasi terus mengalami penurunan sehingga sektor yang alami memberikan kontribusi besar untuk pajak ini malah melesu.

"Kalau konteks umum di luar pandemi, tax ratio juga rendah di antara negara tetangga seperti Malaysia, kita masih lebih rendah. Tapi saya tidak 100 persen menyalahkan DJP karena ini perlu sinergi," katanya.

Baca juga: DJP jadikan Peringatan Hari Pajak 2020 momentum lakukan reformasi

Baca juga: Penerimaan pajak turun 12 persen, masyarakat diajak patuh bayar pajak


Bank Dunia beberapa waktu lalu menyebut rasio penerimaan negara terhadap PDB Indonesia tahun 2018 mencapai 14,6 persen, tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya yang bisa mencapai 27,8 persen.

Sementara itu, rasio pajak Indonesia tercatat 10,2 persen, juga menjadi salah satu yang terendah di antara negara-negara berkembang lainnya.

Fajry melihat melesunya ekonomi menjadi tantangan bagi pemerintah terkait perpajakan di tengah pandemi COVID-19.

Akibatnya, penerimaan pajak menjadi tertekan karena pemeriksaan yang terhambat untuk menerapkan protokol kesehatan sekaligus penerimaan pajak mengalami tekanan karena pemerintah harus mengeluarkan insentif kepada masyarakat dan dunia usaha.

Tantangan lainnya, lanjut dia, meningkatkan kepatuhan wajib pajak khususnya mereka yang memiliki profil risiko tinggi.

Caranya, kata dia, dengan mengakselerasi pemanfaatan bigdata dalam menyaring wajib pajak potensial namun belum optimal melaksanakan kewajibannya dalam perpajakan kepada negara.

"Jadi berbasis risiko, tidak lagi mereka yang sudah patuh terus diperiksa oleh DJP tapi 'mind set' berubah, mana wajib pajak berisiko tinggi, itu yang harus dikejar," katanya.

Baca juga: Bayar pajak makin gampang lewat daring, berikut situs dan aplikasinya

Baca juga: Dirjen Pajak paparkan 3 dampak besar COVID-19 bagi ekonomi Indonesia

 

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020