Jakarta (ANTARA) - Ketua Dewan Pengurus Institut Halal Andy Soebjakto mengatakan sertifikasi halal sebaiknya dibuka bagi ormas Islam sebagai solusi mendorong pertumbuhan ekonomi terutama di Ibu Kota Jakarta yang paling banyak terkena dampak COVID-19.

"Sebaiknya dibuka dengan melibatkan masyarakat agar pengurusan Jaminan Produk Halal (JPH) bisa lebih mudah, murah dan cepat," kata Andy dalam keterangan tertulis, Kamis.

Terkait kekhawatiran timbulnya konflik fatwa, Andy mengatakan terlalu berlebihan mengingat substansi dan kapasitas ilmu untuk membuat fatwa halal seharusnya bisa dilaksanakan oleh semua ormas Islam.

Andy mendukung masuknya Jaminan Produk Halal (JPH) ke dalam Rancangan Undang-Undang Ciptakerja yang menunjukkan semangat dan terobosan baru agar pengurusan bisa lebih mudah, murah dan cepat.

Andy menjelaskan pelibatan ormas-ormas Islam mainstream dalam penetapan fatwa halal justru akan semakin menguatkan dan menggandakan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan JPH.

"Konflik fatwa" seperti dikhawatirkan juga tidak akan terjadi karena yang akan berlaku adalah satu produk fatwa. "Misalnya, jika satu produk sudah difatwa halal maka tidak perlu ada konfirmasi dari lainnya. Demikian pula sebaliknya," ujarnya.

‘’Perlu juga dicatat, fatwa adalah tahap paling akhir dari pemeriksaan halal yang dilakukan auditor halal/LPH. Standarnya ketat. 99,9 persen urusan sertifikasi halal selesai pada tahap pemeriksaan. Fatwa hanya gong penutup,’’ kata Andy.

Baca juga: IHW: BPJPH belum siap terbitkan sertifikasi halal
Baca juga: Halal Watch: Sertifikasi halal tak kunjung libatkan MUI


Kebijakan untuk membuka sertifikasi halal adalah untuk menghindari sumbatan (bottle neck) dalam sertifikasi produk halal yang saat ini membutuhkan JPH untuk jutaan produk per tahun.

Sementara mengenai pernyataan (self declare) halal dari pelaku usaha mikro dan kecil, Andy menilai kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi umum pelaku usaha di Indonesia bahwa mayoritas mata pencaharian penduduk di Indonesia adalah dari sektor informal, termasuk di dalamnya pelaku usaha mikro dan kecil yang meliputi 99 persen dari seluruh pelaku usaha (sekitar 64 juta pelaku usaha).

‘Pelaku usaha mikro dan kecil yang modalnya terbatas, harus dimudahkan pengurusan jaminan produk halalnya. Agar usaha mereka bertahan atau berkembang tanpa melanggar jaminan produk halal, bisa ditempuh dua opsi, yakni subsidi pembiayaan dari pemerintah dan modifikasi atau penurunan tingkat aturan jaminan produk halal.

"Nah, self declare berbasis standar halal yang dikeluarkan oleh BPJPH itu bentuk modifikasi," ujarnya.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020