Kami memberi mereka pekerjaan dengan tanggung jawab yang ringan, seperti membasuh pasien, membalikkan pasien, memeriksa paru-paru, atau melihat hasil pindaian,
Brussels (ANTARA) - Negara-negara Eropa telah memberikan kursus kilat bagi petugas medis tentang penanganan pasien COVID-13, dan kini tengah berupaya melatih staf untuk menghindari kekurangan pekerja kesehatan jika terjadi gelombang kedua virus corona.

Beberapa ahli  perawatan intensif berusaha merekrut staf yang lebih permanen. Sedangkan lainnya ingin membuat "pasukan" cadangan profesional medis yang siap ditempatkan di mana pun untuk bekerja di bangsal dengan pasien yang sakit parah.

"Kami membutuhkan pasukan kesehatan," kata Maurizio Cecconi, presiden terpilih Masyarakat Eropa untuk Perawatan Intensif (ESICM), yang menyatukan tenaga medis dari seluruh dunia yang bekerja di bangsal dengan pasien penyakit serius.

Cecconi, yang mengepalai departemen perawatan intensif di rumah sakit Humanitas di Milan, mengatakan staf medis harus lebih fleksibel dalam pekerjaan yang mereka lakukan, dan lebih banyak bergerak.

Baca juga: WHO: Klaim dokter Italia bahwa virus corona melemah tak terbukti
Baca juga: Kisah dokter muda Indonesia di garis depan COVID-19 di London


"Jika ada gelombang besar lain, kita harus siap untuk mengerahkan dokter dan perawat dari daerah terdekat di Italia. Ini tidak banyak terjadi pada gelombang pertama," kata dia kepada Reuters.

Banyak negara yang tidak siap oleh pandemi COVID-19 pada Maret dan April lalu. Mereka buru-buru melatih kembali petugas medis untuk bekerja dengan pasien yang memiliki kasus penyakit parah, untuk meningkatkan jumlah dan menggantikan tugas mereka yang jatuh sakit.

Beberapa mengirim mahasiswa kedokteran dan pensiunan dokter untuk membantu di ruang perawatan intensif ketika staf rumah sakit kewalahan.

Negara-negara yang paling terpukul oleh pandemi itu harus menyediakan lebih banyak tempat tidur dan peralatan penting untuk unit perawatan intensif, dan beberapa negara membangun rumah sakit baru.

Namun masalah dan kekurangan masih ada. Italia, misalnya, mungkin perlu meningkatkan 50 persen jumlah ahli anestesi, ahli resusitasi, dan tenaga medis lain yang telah bekerja di unit perawatan intensif, menurut masyarakat perawatan intensif Italia SIAARTI.

Di seluruh Eropa, rumah sakit telah melatih kembali ahli bedah, ahli jantung, dokter penyakit dalam, dan perawat dari departemen lain, dan telah menugaskan mereka ke unit perawatan intensif bila diperlukan.

Banyak yang menghadiri kursus kilat tentang cara menangani pasien COVID-19, kata Jozef Kesecioglu, presiden ESICM dan kepala perawatan intensif di Pusat Medis Universitas Utrecht, di Belanda.

"Kami memberi mereka pekerjaan dengan tanggung jawab yang ringan, seperti membasuh pasien, membalikkan pasien, memeriksa paru-paru, atau melihat hasil pindaian," katanya kepada Reuters.

Spesialis perawatan intensif terus melakukan pekerjaan yang paling rumit, seperti menangani tabung di tenggorokan pasien atau menyesuaikan ventilator mekanis, kata Kesecioglu.

Dia berencana untuk memanggil kembali orang yang sama untuk menawarkan mereka lebih banyak pelatihan.

Dalam keadaan normal, pekerja perawatan intensif menjalani pelatihan bertahun-tahun, namun Kesecioglu mengatakan "kita tidak harus menunggu sampai gelombang baru datang, kita harus memberi mereka pelatihan reguler."

Belanda sedang berusaha merekrut lebih banyak pekerja terampil dan berharap untuk mempersempit kesenjangan struktural dalam tenaga perawatan intensif, kata Erasmus Medical Center Rotterdam, salah satu rumah sakit universitas terbesar di Eropa.

SIAARTI mengatakan mahasiswa kedokteran yang mengambil spesialisasi perawatan intensif harus diintegrasikan sepenuhnya ke bangsal selama dua tahun terakhir dari lima tahun pelatihan mereka.

Komisi Eropa, eksekutif Uni Eropa, mendanai transfer staf medis lintas batas ke negara-negara yang paling terkena dampak pada puncak krisis corona.

Pada April, tim "dokter terbang" dikirim dari Norwegia dan Rumania ke Italia.

Tetapi percobaan telah gagal mengumpulkan banyak dukungan, dan Cecconi mengatakan memindahkan dokter dari satu negara ke negara lain "harus menjadi pilihan tetapi bukan pilihan pertama," karena hambatan bahasa mungkin membuat mereka kurang efektif.

Sumber: Reuters
​​​​​​​
Baca juga: Paus Fransiskus berterima kasih kepada para dokter Italia
Baca juga: Dokter Inggris uji ibuprofen pada pasien corona yang sulit bernapas

Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020