Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan hasil kajian tentang pengelolaan dana penelitian Indonesia dalam rangka kegiatan pencegahan korupsi di sektor pendidikan.

"KPK sudah lakukan serangkaian kegiatan pencegahan pada sektor pendidikan. Hari ini, kami akan sampaikan hasil kajian KPK tentang 'Pengelolaan Dana Penelitian Indonesia dan Monitoring Rencana Aksi' atas kajian tersebut," Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan bahwa kajian ini dilakukan KPK pada 2018, dimana pihaknya telah menyusun 18 renaksi. "Per 12 Juni 2020, satu renaksi telah selesai, yaitu terkait regulasi," katanya.

KPK, lanjut Ghufron, memandang penting kajian di sektor pendidikan ini mengingat kondisi lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) tersebar tanpa koordinasi.

"Keberadaan lembaga penelitian pada setiap kementerian/lembaga di pusat hingga daerah tanpa ada koordinasi," ungkapnya.

Baca juga: Belanja riset Indonesia sekitar Rp30,8 triliun menurut data pemerintah

Kemudian, anggaran tersebar dan tidak terhitung secara riil. Ia mengungkapkan anggaran penelitian nasional tahun 2016 hanya 0,25 persen dari PDB (rata-rata dunia mencapai 2,063 persen) dan kondisinya tersebar.

"RKA/KL berdasarkan program penelitian dan pengembangan hanya terdapat di 23 K/L dari 87 K/L. Padahal hampir semua K/L melakukan kegiatan penelitian. Ada beberapa anggaran penelitian di K/L tercatat pada sub fungsi bahkan ada pula yang tidak tercatat pada sub fungsi," tuturnya.

Selanjutnya, tidak ada standar keluaran (output) kegiatan penelitian dan pengembangan.

"Sehingga mengakibatkan dana yang dikeluarkan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan seakan-akan belum mencapai hasil yang diharapkan karena memang standar 'output' dari penelitian selama ini belum ada standarnya," ungkap Ghufron.

Adapun kajian ini, katanya, ditujukan untuk mengatasi persoalan efektivitas dan inefisiensi dalam pengelolaan dana penelitian sebagaimana hasil kajian.

Pertama, menyangkut regulasi, kata Ghufron, tidak ada norma untuk mematuhi prioritas kebijakan iptek nasional, tidak ada regulasi mengenai politik anggaran dana penelitian, dan mekanisme penggunaan anggaran penelitian.

Baca juga: Menristekdikti: badan riset nasional akan hilangkan duplikasi penelitian

Kedua, soal kelembagaan, ia menuturkan tidak ada lembaga yang mengatur koordinasi antarpeneliti dan penelitiannya.

"Ketiga tata kelola. Tidak adanya prioritas anggaran penelitian dan tidak ada penandaan anggaran (budget tagging) penelitian. Keempat SDM, belum ada kode etik yang dibuat oleh organisasi profesi peneliti," kata dia.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang PS Brodjonegoro menyetujui apa yang menjadi kesimpulan dari kajian KPK tersebut.

"Tadi yang disampaikan Pak Ghufron barusan kami sangat setuju apa yang menjadi kesimpulan dari kajian KPK dan kami juga sudah melaporkan "progress" dari rencana aksi yang waktu itu sudah disampaikan oleh KPK kepada Kemenristekdikti sebelum berubah menjadi Kemenristek dan Badan Riset dan Inovasi Nasional," tuturnya.

Ia menyatakan pihaknya sudah mempunyai Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017-2045 yang kemudian diterjemahkan dalam prioritas lima tahunan sesuai dengan masa kabinet.

"Sehingga pada saat ini, kami punya yang namanya prioritas riset nasional 2020-2024 yang berfokus pada 49 keluaran atau 49 produk hasil litbang kirap (penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan)," ungkap Bambang.

Untuk mencapai target 49 produk litbang kirap pada akhir 2024, kata dia, selain mengalokasikan anggaran, juga dilakukan konsolidasi dan koordinasi dari sumber daya yang ada baik SDM, yakni peneliti, perekayasa maupun juga aset-aset seperti laboratorium ataupun peralatan untuk mendukung penelitian.

"Sehingga kami harapkan dengan memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada tanpa harus membeli atau mengadakan yang baru ditambah dengan produktivitas dari para peneliti kita yang kebetulan bekerja atau aktif di berbagai tempat di perguruan tinggi, lembaga, kementerian, daerah maka kami bisa mencoba melakukan kegiatan yang menjamin efektivitas dan efisiensi dari dana riset itu sendiri," tuturnya.

Baca juga: Anggaran penelitian dan pengembangan disasar dua persen APBN

Soal dana riset, Bambang pun mengakui agak sulit untuk menghitung dana riset yang seharusnya dikeluarkan.

"Karena yang dikategorikan sebagai dana riset atau dana litbang kirap ini tersebar pada banyak lembaga bahkan di kementerian sendiri jumlahnya tidak besar karena harus dibagi dengan lembaga pemerintah nonkementerian dan ada yang di litbang K/L sehingga bisa dibayangkan sulitnya kita melakukan koordinasi kalau pengelolaan dananya berdasarkan seperti yang jumlahnya relatif tidak besar," ungkapnya.

Menurut dia, akan lebih ideal seperti yang direkomendasikan KPK jika ada pemimpin sebagai upaya untuk melakukan koordinasi di dalam kegiatan riset tersebut.

"Akan lebih ideal seperti yang direkomendasikan kalau ada pemimpin dari upaya untuk melakukan koordinaisi dan sinergi di dalam kegiatan riset ini dan sesuai UU 11 Tahun 2019 ada di BRIN. Jadi, kami sebagai Kepala BRIN tentunya harus bisa menterjemahkan UU tersebut di mana semangatnya adalah integrasi dari kegiatan litbang kirap yang berujung pada invensi dan inovasi," kata Bambang.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020