Diananta membela masyarakat. Jadi dia bukan seorang pelaku kriminal
Balikpapan (ANTARA) - Sidang perdana kasus yang menimpa jurnalis Diananta Putera Sumedi alias Nanta digelar Senin mulai pukul 12.30 WITA di Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan (Kalsel), diwarnai aksi solidaritas sejumlah jurnalis setempat.

"Sidang berlangsung secara daring atau online untuk mematuhi protokol pencegahan wabah COVID-19," ujar Fariz Fadhillah, Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Balikpapan yang turut mendampingi Nanta.

Sidang online atau secara daring sementara ini adalah majelis hakim, jaksa penuntut umum (JPU), dan pengacara berada di pengadilan, sementara terdakwa Nanta di ruang tahanan Polres Kotabaru.

"Di Polres, Bung Nanta juga didampingi rekan pengacara lainnya," kata Ketua Tim Pengacara Nanta, Bujino A Salan sebelum sidang.
 

Setelah memastikan kesehatan dan identitas Nanta, majelis hakim yang dipimpin Meir Elisabeth Batara Randa SH MH, dengan anggota Masmur Kaban SH dan Yunus Tahan D Sipahutar SH mempersilakan Tim JPU dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotabaru membacakan dakwaan yang segera disampaikan oleh jaksa muda Erlia Hendrasta.

Jaksa mendakwa berita yang sudah ditulis Nanta di laman kumparan/banjarhits yang berjudul "Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel", yang termuat di dalam link URL https://kumparan.com/banjarhits/tanah-dirampas-jhonlin-dayak-mengadu-ke-polda-kalsel-1sDL0bxLvva telah menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sebelumnya, JPU juga menegaskan bahwa PN Kotabaru berwenang mengadili perkara ini meskipun tempat kejadian perkara ada di Banjarmasin atau sekitarnya. “Sebab mengingat tempat terdakwa ditahan dan kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri Kotabaru. Ini sesuai Pasal 84 ayat (2) KUHAP," kata jaksa Erlia.

Di Polres Kotabaru, Diananta menyimak dakwaan pada dirinya dengan memakai rompi tahanan. Ia ditemani penasihat hukum Hafiedz Halim. Hadir juga istrinya, Wahyu Widianingsih yang jauh-jauh datang dari Banyuwangi, Jawa Timur khusus untuk mendampingi suaminya itu.

Dalam kesempatan itu, penasihat hukum Bujino A Salan yang hadir langsung di PN Kotabaru meminta kemudahan akses untuk menjenguk Nanta di Polres Kotabaru. Hakim Meir mengizinkan sambil mengingatkan untuk berkoordinasi dengan polres.

Hakim Meir Elisabeth Randa kemudian menunda sidang hingga 15 Juni 2020 dengan agenda eksepsi dari penasihat hukum Diananta.

Sementara itu, di luar PN Kotabaru, puluhan jurnalis dari berbagai organisasi kewartawanan melakukan aksi solidaritas menolak kriminalisasi mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits Diananta Putra Sumedi tersebut.

Mereka membawa spanduk panjang bertuliskan 'Stop Kriminalisasi Wartawan, Bebaskan Diananta', dan memajangnya di halaman depan PN Kotabaru yang berlokasi di Jalan Raya Stagen, Pulau Laut Utara.

Para jurnalis meminta Majelis Hakim PN Kotabaru untuk membebaskan Nanta dari segala dakwaan dan membebaskannya dari tahanan, karena kasusnya sudah selesai di Dewan Pers. Lagi pula Nanta dengan beritanya membela masyarakat adat mempertahankan tanah miliknya dari korporasi.

"Diananta membela masyarakat. Jadi dia bukan seorang pelaku kriminal," kata Iwan Hardi, salah satu jurnalis asal Kotabaru.

Jurnalis asal Tanah Bumbu, Nanang Rusmani juga jauh-jauh datang untuk bersolidaritas untuk Nanta.

Menurut dia, kasus yang menimpanya murni sengketa jurnalistik. "Dan dia menulis apa adanya. Sesuai fakta yang ada. Jadi kami bukan melawan hukum, tapi minta keadilan," ujar Nanang yang juga Ketua Forum Komunikasi Wartawan (FKW) Tanah Bumbu ini.

Ketua Tim Pengacara Diananta, Bujino A Salan saat memberi keterangan pada jurnalis yang sudah menunggunya di luar ruang sidang di PN Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan. (ANTARA/HO)
Kronologis Kasus
 

Nanta ditetapkan sebagai tersangka disebabkan beritanya yang berjudul 'Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel'.

Konten ini diunggah melalui laman banjarhits.id, pada 9 November 2019 lalu.

Pengadu atas nama Sukirman dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan Indonesia.

Sukirman menilai berita itu menimbulkan kebencian, karena dianggapnya bermuatan sentimen kesukuan.

Pada saat yang sama masalah ini juga telah dibawa ke Dewan Pers. Diananta dan Sukirman datang ke Sekrerariat Dewan Pers di Jakarta, pada Kamis, 9 Januari 2020 lalu guna proses klarifikasi.

Dewan Pers kemudian mengeluarkan lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang mewajibkan banjarhits selaku teradu melayani hak jawab dari pengadu dan minta maaf. PPR diterbitkan Dewan Pers pada 5 Februari 2020.

Merujuk kepada UU Nomor 40/1999 tentang penanganan sengketa pers, maka PPR tersebut sudah menyelesaikan semua masalah. Hak jawab pengadu sebagai kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan versi pengadu sudah diberikan. Media, yaitu banjarhits sudah pula meminta maaf dan menghapus berita yang dipersoalkan.

Namun demikian penyidikan polisi terus berlanjut dengan surat panggilan kedua dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalsel, pada tanggal 25 Februari 2020, hingga penahanan Nanta pada 4 Mei 2020. Polisi menjeratnya dengan Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berisikan ancaman hukuman 6 tahun penjara.

Pada 24 Mei penahanan Nanta dipindahkan ke Kotabaru dan dititipkan di Polres Kotabaru hingga persidangan mulai masuk jadwal persidangan sejak 8 Juni 2020.
Baca juga: AJI seru kejaksaan untuk hentikan kriminalisasi Diananta

Pewarta: Novi Abdi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020