Semarang (ANTARA) - Beberapa waktu belakangan, terdapat laporan dari para ilmuwan di dunia yang menyebut Indonesia terburuk dalam menangani Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

Menurut mereka, hal ini disebabkan oleh birokrasi yang tidak rapi di Indonesia. Terlebih lagi, populasi penduduk Indonesia sangat besar dibandingkan semua negara di Asia Tenggara.

Bahkan, Profesor Virologi Universitas Queensland Ian Mackay menyoroti adanya kemungkinan situasi di Indonesia bisa jauh lebih buruk daripada jumlah kasus yang diekspos ke publik. Pasalnya, tingkat kematian akibat COVID-19 di Indonesia saat ini sekitar 8 persen dari kasus, jauh lebih tinggi daripada rata-rata internasional di kawasan ASEAN.

Pengamatan ilmuwan dunia tersebut tidak sepenuhnya benar. Indonesia melakukan penanganan pandemi COVID-19 sebagaimana telah dilakukan sejumlah negara, seperti Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan, yakni pengujian yang dilakukan sejak awal dan (hampir) secara luas, isolasi yang efektif, penelusuran kontak, dan karantina.

Selain itu, beberapa penanganan menanggulangi epidemi COVID-19 telah dilakukan pemerintah beserta pihak-pihak terkait, diantaranya adalah Presiden Republik Indonesia telah menyatakan status penyakit ini menjadi tahap tanggap darurat pada tanggal 17 Maret 2020.

Presiden juga telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona yang diketuai oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Gugus Tugas ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan; mempercepat penanganan COVID-19 melalui sinergi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah; meningkatkan antisipasi perkembangan eskalasi penyebaran COVID-19; meningkatkan sinergi pengambilan kebijakan operasional; dan meningkatkan kesiapan dan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons terhadap COVID-19.

Selain itu, Wisma Atlet Kemayoran ditetapkan sebagai Rumah Sakit Darurat Penanganan Virus Corona. Rumah Sakit ini bisa menampung ribuan pasien.

Baca juga: Wali Kota Surabaya keliling kampung imbau warga jaga jarak

Baca juga: PDIB: Jaga jarak harus dilakukan tegas cegah penularan COVID-19



Iklan layanan masyarakat

Dari segi komunikasi, telah banyak iklan layanan masyarakat, baik melalui media sosial, radio, televisi, maupun majalah, untuk menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya tinggal di rumah dan menjaga jarak antara satu orang dengan lainnya dalam bersosialisasi.

Tindakan tersebut belakangan ini banyak digaungkan oleh orang di seluruh dunia untuk memotong rantai penyebaran COVID-19.

Namun, dalam banyak kasus, tampaknya iklan layanan masyarakat mengenai pencegahan penyebaran COVID-19 belum sepenuhnya efektif. Hal ini terlihat dari masih banyaknya anak di perkampungan yang bermain bersama, berkelompok, lebih dari 10 orang.

Dalam portal resmi www.covid19.go.id, disebutkan bahwa virus ini dapat dengan mudah menular ke orang lanjut usia, perokok, ibu hamil, dan penderita penyakit kronis, seperti kanker, kardiovaskular, diabetes, penderita asma, serta penderita autoimmune.

Namun, informasi bagaimana seharusnya anak-anak bermain di perkampungan dan kompleks perumahan masih luput dari perhatian pemerintah, khususnya dalam hal jaga jarak antar anak. Hal ini perlu menjadi perhatian, terlebih Sarasota Memorial Health Care System juga mengimbau untuk mewaspadai banyak kasus pada anak-anak yang tidak terdeteksi.

Dalam kondisi krisis yang disebabkan oleh COVID-19, penting untuk menekankan penciptaan komunikasi yang tepat bagi masyarakat. Tepat artinya informasi yang dihadirkan ke publik tidak berat sebelah dan tidak membuat publik panik.

Sejauh ini, informasi yang diberikan oleh Pemerintah dan pihak-pihak terkait penanggulangan COVID-19 dapat membuat publik tetap tenang. Namun, dari pantauan penulis terhadap sejumlah situs pemerintah, media, dan iklan layanan masyarakat, informasi yang diberikan masih berat sebelah dan belum komprehensif.

Belum komprehensif dikarenakan belum secara eksplisit menyebutkan perlunya jaga jarak bagi anak-anak, bukan hanya orang dewasa. Perlunya sosialisasi secara eksplisit dengan tidak berbelit-belit sehingga orang akan dengan mudah menangkap maksud dengan tepat sehingga tidak terdapat gambaran yang kabur atau salah.

Baca juga: Sosiolog: Kohesivitas sosial perlu ditingkatkan hadapi COVID-19

Baca juga: Tetap jaga jarak dan belanja ketika sepi saat wabah COVID-19



Berat sebelah

Sementara itu, informasi dan iklan layanan masyarakat yang ada masih berat sebelah dikarenakan masih terfokus pada peran dokter dan tenaga medis yang berjasa menanggulangi COVID-19. Tentu saja, sebagaimana kita ketahui, bahwa tenaga medis ada di garda depan menghadapi pasien yang terpapar COVID-19 dan rentan tertular virus tersebut, terlebih banyak dokter yang telah gugur waktu mengemban tugas negara menghadapi COVID-19.

Namun, perlu kita ingat bahwa, jasa polisi dan tentara dalam menyosialisasikan bahaya dan pencegahan COVID-19 di daerah terpencil, jasa jurnalis dan reporter yang selalu meliput perkembangan terkini dan tak sedikit jurnalis dan reporter harus ke rumah sakit menggali data ke tempat korban yang meningga. Mereka juga pihak-pihak yang rentan terkena COVID-19.

Selain itu, pengendara ojek online, petugas apotek, pramuniaga, pramusaji, bahkan penjual sayur yang berjualan dari rumah ke rumah agar orang-orang tetap di rumah tanpa harus ke pasar juga rentan terkena COVID-19.

Selanjutnya, ibu rumah tangga yang berada di rumah mengerjakan pekerjaan domestik dan harus membimbing putra/putrinya belajar dan mengerjakan tugas mandiri di rumah juga patut diapresiasi.

Pentingnya apresiasi diri bagi semua profesi dan pekerjaan di tengah masyarakat dalam situasi pandemi COVID-19 akan membuat publik makin bahu-membahu mengatasi COVID-19 dengan disciplinary power produktif, bukan sovereign power.

Menurut Michel Foucault (filsuf Prancis, ahli teori sosial, dan ahli bahasa), sovereign power memiliki makna negatif karena menundukkan perilaku (terpaksa) melalui kepatuhan terhadap hukum.

Sementara itu, disciplinary power produktif, mengontrol tubuh melalui mekanisme pengawasan yang diinternalisasi sebagai proses normalisasi beroperasinya kekuasaan terhadap tubuh.

Oleh karena itu, penerapan disciplinary power produktif bagi penanganan COVID-19 akan lebih efektif karena semua warga masyarakat terinternalisasi secara sadar tunduk pada aturan pemerintah memutus penyebaran COVID-19.

Dalam hal ini, kekuasaan dipahami sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan yang membentuk rantai atau sistem dari relasi guna menanggulangi penyebaran COVID-19, bukan malah membuat warga merasa terisolasi dikarenakan peran produktif mereka yang harus bekerja di luar rumah dan mereka yang tetap di rumah mengikuti imbauan pemerintah, tidak diapresiasi.

Oleh karena itu, perlu dibuat iklan layanan masyarakat mengenai peran produktif pihak-pihak yang harus tetap di luar mencari nafkah dan pihak-pihak yang berada di rumah menjaga keluarganya guna memutus penyebaran COVID-19. Dengan demikian, terbentuk arus komunikasi pandemi yang tidak berat sebelah.

Selain itu, informasi mengenai pencegahan COVID-19 saat ini hanya seputar pencegahan penularan antar manusia, belum memberikan informasi komprehensif bahwa virus ini juga berasal dari kelelawar, hewan mamalia dan reptil.

Sebagaimana diketahui, COVID-19 diduga kuat berasal dari kelelawar dan disebarkan oleh beberapa hewan mamalia dan reptil. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi dan imbauan kepada masyarakat untuk menghindari kontak dengan hewan tersebut.

Selain itu, perlu adanya komunikasi berupa imbauan apabila ingin mengonsumsi daging atau ikan, dipastikan daging atau ikan tersebut telah dicuci dan dimasak hingga benar-benar matang.

Untuk mewujudkan komunikasi komprehensif, diperlukan iklan layanan masyarakat yang secara jelas menunjukkan perlunya jaga jarak bagi anak-anak.*

*) Penulis adalah dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Walisongo Semarang.

Baca juga: Starbucks tutup banyak kafe di AS, Kanada cegah penyebaran corona

Baca juga: KAI Cirebon terapkan jaga jarak sosial di stasiun

Copyright © ANTARA 2020