Sifat likuefaksi berbeda-beda, ada yang bersifat ambles ke bawah dan ada yang mengalir sesuai dengan letaknya
Padang (ANTARA) - Fenomena alam berupa gempa, tsunami, dan likuefaksi yang telah memorak-porandakan sejumlah kawasan di Provinsi Sulawesi Tengah pada 28 September 2018, menjadi duka mendalam bagi masyarakat Indonesia.

Gempa dengan magnitudo 7,4 yang mengguncang Donggala, Palu, Sigi, dan Parimo di Sulawesi Tengah tersebut tidak hanya memicu tsunami, namun juga mengakibatkan likuefaksi. Akibatnya, bangunan dan ratusan ribu infrastruktur luluh lantak.

Hari itu, Palu dan Donggala bersimbah air mata. Harta, benda, dan nyawa seketika terenggut dalam bencana. Segenap tenaga dan bantuan dikerahkan, namun sempat terkendala akibat kerusakan infrastruktur.

Gempa yang melanda Palu dan Donggala merupakan yang ke sekian kalinya terjadi di Indonesia.

Gempa yang mengguncang kota tersebut pertama kali terjadi pada pukul 13.59 Wita dengan magnitudo 6, kemudian pada pukul 17.02 Wita dengan magnitudo 7,4.

Saat itu, BMKG menyatakan gempa berpotensi tsunami dengan ketinggian siaga di Donggala Barat, dan estimasi ketinggian gelombang tsunami mencapai 0,58 meter.

Akan tetapi, setelah dilakukan observasi, BMKG mengakhiri pernyataan dini tsunami pada pukul 17.36 Wita. Setelah diakhiri, gelombang tsunami pun menerjang dengan ketinggian 1,5 meter.

Baca juga: BPBD ungkap potensi likuefaksi di radius 500 meter dari Pantai Padang

Kekuatan getaran gempa di wilayah Sulawesi Tengah juga menyebabkan likuefaksi. Saat itu, tanah yang semula padat berubah sifat menjadi cair sehingga tanah yang mengalami likuefaksi pun ambles dan lapisan tanah bergerak bergelombang.

Tanah yang mengalami likuefaksi juga terlihat berputar saat terjadinya gempa sehingga benda-benda yang berada di atasnya ikut berputar dan akhirnya tertimbun.

Salah satu penyebab besarnya kerusakan yang terjadi akibat gempa di Sulawesi Tengah diduga karena likuefaksi.

Berdasarkan data dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah pada 30 Januari 2019, jumlah korban meninggal dan hilang mencapai 4.402 jiwa, yakni 2.685 jiwa meninggal dunia, 701 jiwa hilang, dan 1.016 korban dikubur massal.

Total kerusakan rumah dengan kategori rusak ringan, sedang, berat, dan hilang mencapai 100.405 unit.

Fenomena yang telah menorehkan duka mendalam terhadap masyarakat di wilayah Sulawesi Tengah itu, tentunya menjadi perhatian dan pelajaran sejumlah daerah lainnya dalam menanggulangi kemungkinan terjadi bencana pada masa mendatang.
 
Pengunjung berada di sekitar puing bangunan rumah warga yang hancur di bekas lokasi bencana gempa dan likuefaksi Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (30/12/2019). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/pras.



Pantai Padang
Selain di Sulawesi Tengah, ternyata likuefaksi juga pernah terjadi di kawasan Pantai Padang, Sumatera Barat saat terjadinya gempa 2009 dengan magnitudo 7,6.

Seorang pengamat dari Teknik Sipil Universitas Andalas (Unand) Abdul Hakam, di Padang, Senin, mengemukakan likuefaksi salah satu bahaya yang ditimbulkan dari gempa bumi. Saat gempa terjadi, tanah mengalami perubahan sifat dari padat ke cair akibat beban siklik yang diterima.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 2010, bentuk likuefaksi di Padang lebih cenderung bersifat ambles karena terletak di daerah yang datar.

"Sifat likuefaksi berbeda-beda, ada yang bersifat ambles ke bawah dan ada yang mengalir sesuai dengan letaknya," kata dia.

Likuefaksi tersebut bisa dilihat dengan cara mengamati rembesan air keluar dari rekahan tanah saat gempa.

Selain itu, dapat ditandai dengan tenggelam dan miringnya beberapa bangunan serta pergerakan horizontal dalam skala yang besar.
 
Setelah dilakukan observasi di penjuru Kota Padang usai gempa 2009, didapati bukti-bukti terjadinya likuefaksi berupa bekas semburan pasir di permukaan tanah (ANTARA/HO-Abdul Hakam).


Setelah dilakukan penelitian terdapat beberapa daerah yang teridentifikasi adanya likuefaksi di Kota Padang umumnya berada di dekat aliran sungai ataupun di tepi pantai, di antaranya di daerah Lapai, Siteba, Ulak Karang, Air Tawar, Tabing, dan Lolong Belanti.
 
Peta tentang sejumlah lokasi yang terdampak likuefaksi di Padang (ANTARA/HO-Abdul Hakam)



Waspada 
"Kita tidak tahu pasti kapan gempa itu akan terjadi, akan tetapi yang perlu dilakukan ialah tetap waspada dengan cara mempersiapkan diri," kata Hakam yang merupakan seorang dosen Fakultas Teknik Unand.

Untuk memastikan potensi likuefaksi saat gempa mendatang di Padang, Hakam kembali melakukan penelitian berdasarkan gradasi butiran dan tahanan penetrasi standar yang dilakukan pada 2013.

Fenomena likuefaksi bisa terjadi gempa dengan magnitudo 7,6 sampai 8.

Dengan menggabungkan kedua cara tersebut maka dapat ditarik kesimpulan mengenai tingkat potensi likuefaksi dari lapisan tanah, yakni sangat berpotensi (SP), berpotensi (P), kurang berpotensi (K), dan tidak berpotensi (T).

"Dari hasil gabungan analisis terhadap lokasi Pantai Padang, maka dapat dilihat lapisan tanah pada kedalaman empat meter dan delapan  meter sangat potensi terlikuifaksi, kedalaman 10 meter berpotensi, dan kedalaman enam meter dan 12 meter kurang berpotensi," katanya.
 
Potensi likuefaksi di Padang menurut Abdul Hakam berdasarkan tingkat kedalaman tanah terbagi atas Sangat Berpotensi (Merah), Berpotensi (biru) dan Kurang Berpotensi (hijau) (ANTARA/Laila Syafarud)


Pengukuran
Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP), Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah melakukan pengukuran di daerah yang diduga berpotensi likuefaksi dengan menggunakan alat geolistrik supersting pada 2019.

Alat tersebut diklaim cukup jitu untuk mendapatkan data potensi likuefaksi yang digunakan saat melihat kondisi air tanah di kawasan pantai.

Hal itu disampaikan oleh salah seorang Peneliti Bidang Oseanografi LRSDKP, BRSDMKP, KKP Ulung Jantama Wisha.

Pengukuran potensi likuefaksi yang dilakukan juga sebagai pembuktian di lapangan berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang potensi likuefaksi di wilayah pesisir pantai di Sumatera Barat yang pernah dilakukan sejak 2006.

Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, potensi likuefaksi di pesisir pantai Kota Padang cukup besar dan mengkhawatirkan. Beberapa titik yang diduga berpotensi likuefaksi, yakni di Pasir Jambak, Ulak Karang sebelah utara, Pantai Padang, Pantai Air Manis, dan Area Pelabuhan Bungus.

Baca juga: Tiga daerah di Bali berpotensi terjadi likuefaksi

Setelah dilakukan pengukuran, dapat simpulkan potensi likuefaksi yang cukup besar berada di kawasan Ulak Karang sebelah utara. Hal itu dibuktikan dengan adanya beberapa benda yang ambles akibat gempa 2009 di kawasan tersebut saat dilakukan pengukuran.

Hasil pengukuran likuefaksi tersebut telah diserahkan ke pemerintah setempat dan dinas terkait dengan harapan dijadikan bahan rujukan dan tindak lanjut dalam menghadapi kemungkinan likuefaksi pada masa mendatang.

Menurut Peneliti Bidang Oseanografi LRSDKP, BRSDMKP, KKP Ulung Jantama Wisha, terdapat beberapa cara yang harus dilakukan untuk meminimalisasi korban likuefaksi di Padang, yakni menyosialisasikan kepada masyarakat setempat tentang daerah-daerah yang diduga berpotensi likuefaksi.

Selain itu, mengurangi pembangunan di sekitar daerah yang terdeteksi berpotensi likuefaksi karena pada dasarnya tanah yang terdapat di daerah terlikuefaksi bersifat lunak. Jika masih tetap dilakukan pembangunan maka tekanan terhadap tanah tersebut semakin besar dan dampaknya semakin parah.

Pentingnya menghindari pembangunan gedung bertingkat dan tempat umum, seperti mal, hotel, rumah sakit, masjid, dan pasar di sekitar daerah yang berpotensi likuefaksi, serta memperbaiki jalur evakuasi untuk meminimalisasi jumlah korban jiwa jika bencana alam itu terjadi.

Oleh karena Kota Padang berpotensi likuefaksi, kewaspadaan dan kesiap-siagaan pemerintah serta semua kalangan masyarakat, menjadi kebutuhan penting guna menghindari jatuh korban dan meminimalisasi kerugian.

Baca juga: Setahun bencana Sulteng - Akademisi luncurkan buku
Baca juga: Menteri PUPR: Pembentukan pusat likuefaksi libatkan peneliti global

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020