Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pakar sudah banyak yang memberikan pandangan tentang pentingnya anak-anak muda untuk meng-upgrade skill dalam merespon kebaruan. Di antaranya adalah critical thinking, collaborative skill, people management, juga literasi media dan teknologi. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menambahkan bahwa anak-anak muda ke depan harus mengerti coding, artificial intelligence, dan internet of things (IoT).

Prof. Dr. Renald Kasali juga mencoba memberikan influence penyadaran kepada anak-anak muda untuk sejak dini memiliki paspor. Doktrinnya, bukan soal pentingnya jalan-jalan ke luar negeri, namun menyadarkan anak bangsa bahwa ke depan kita bukan lagi sebatas warga negara Indonesia, akan tetapi warga dunia (world citizens).

Dari rentang 2018 hingga 2019, ada pergeseran radikal tentang persepsi publik soal siapa saja yang bisa dijadikan tokoh panutan. Dulu barangkali mereka adalah public figure dalam pengertian tradisional. Bisa pejabat, pemuka agama, atau selebriti. Sekarang justru telah lahir ratusan bahkan ribuan anak-anak muda kreatif yang pada masing-masing judul garapan mereka menjadi "inspiring people".

Karena itu, hari ini lahir status-status publik terbaru. Ada social media influencer, Youtuber, big data analyst, dan ragam pekerjaan lain yang tak kita temukan di zaman purba (masa sebelum ini).

Alhasil, dalam Risalah Pembuka Tahun ini, dalam kapasitas sebagai Staf Khusus Presiden yang secara spesifik diamanahi mengurusi pemuda, mahasiswa, santri, dan komunitas desa, saya merasa penting untuk memberikan catatan-catatan sebagai Salam Pembuka untuk kita sama-sama menyongsong hari depan.

Sahabat Muda, yang kita butuhkan di hari depan adalah semangat kolektif untuk melakukan kerja-kerja kolaboratif. Dulu, generasi kami di masa kecil kerap disuguhi dengan bayang-bayang ketakutan dan ancaman persaingan. "Jangan bermain api, nanti terbakar". "Jangan bermain air, nanti tenggelam". "Jangan bermain hati, nanti patah". Semua bermula dengan kata "Jangan".

Ke depan, narasi ketakutan harus kita ubah menjadi harapan. Ketatnya kompetisi kita ubah menjadi indahnya kolaborasi. Sebab hanya dengan cara demikian lah kita bisa secara kolektif mengasilkan banyak karya.

Sebagai contoh, untuk menghasilkan sebuah komik yang bagus, maka yang dibutuhkan adalah tidak cukup hanya seorang content writter. Kita juga butuh seorang desaigner grafis, layouter, ilustrator, dan tentunya pembaca (readers) untuk memberikan testimoni bahwa karya komik tersebut memang bagus. Dan gambaran dunia ke depan, semuanya mengalami digitalisasi. Maka komik yang bagus tadi, harus ada pula versi digitalnya.

Itulah yang kini sedikit demi sedikit kita rasakan. Transaksi keuangan menjadi cashless karena sudah ada Dana, E-Money, Gopay, dan Ovo. Beberapa gedung perkantoran sudah tidak terima uang tunai untuk bayar parkir, laiknya transaksi ketika masuk dan keluar tol.

Alhasil, kolaborasi adalah solusi dari setiap kebuntuan yang akan kita hadapi karena perkembangan zaman. Dulu kita banyak terjebak ke dalam mentalitas perang dingin yang bipolar (dua kutub). Jika tidak setuju A, maka harus menjadi B. Jika suka sama B, maka nggak boleh dekat sama A. Mentalitas semacam inilah yang kerap membatasi kita untuk melakukan kerja-kerja kolaboratif dengan banyak pihak. Kita seakan menciptakan garis demarkasi sendiri atas pergaulan kita. Menarik border, dan menciptakan eksklusivisme. Padahal inklusivitas di zaman yang semakin terbuka ini adalah sebuah keniscayaan.

Terakhir, Selamat Tahun Baru untuk segenap sahabat muda. Sembari melakukan sedikit refleksi atas apa yang telah kita lewati di masa lalu, mari bertekad untuk melakukan hal-hal baik di masa depan.

Yakinlah, "algoritma kehidupan" akan membawa kita kepada hal-hal baik dan mempertemukan kita dengan orang-orang baik berikutnya. Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiiq.

*) Penulis adalah Staf Khusus Presiden Republik Indonesia

Copyright © ANTARA 2020