Yabuli (ANTARA) - Tepat pukul 13.48 rangkaian kereta api berwarna putih dengan garis biru dengan nomor perjalanan D8517 bertolak dari Stasiun Harbin.

Dengan kecepatan rata-rata 250 kilometer per jam, perjalanan ke arah tenggara menuju Desa Yabuli yang berjarak sekitar 238 meter bisa ditempuh dalam tempo satu jam, 20 menit dengan empat kali pemberhentian di stasiun antara.

Dalam perjalanan sepanjang itu, pemandangan di luar didominasi warna putih. Bahkan sawah pun berwarna putih. Rel kereta api sudah tidak lagi kelihatan bantalannya.

Salju yang turun sepekan menutup semua permukaan. Mobil-mobil baru yang belum ada nomor polisinya dibiarkan teronggok berselimutkan salju di halaman diler.

Ikhtiar petugas kebersihan bertaruh dengan membeku dan mengerasnya butiran salju di badan jalan yang hampir merata di wilayah Provinsi Heilongjiang itu.

Matahari mengerahkan segala upayanya menyinari bumi pada sore itu. Namun biasnya belum mampu menghangatkan suhu yang menyentuh angka -26 derajat Celcius.

Di depan stasiun kecil, terpampang aksara Mandarin besar-besar Zhongguo de Dawosi shijie de Yabuli yang di bawahnya terdapat tulisan Latin kecil Davos of China, Yabuli of the World.

Desa itu mengklaim dirinya sebagai Davos-nya China mungkin karena kontur dan topografinya mirip dengan salah satu kota di Swiss. Keduanya sama-sama ski resort yang menjadi tujuan wisata musim dingin.

Kalau Davos dikenal sebagai tempat pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF), maka Yabuli juga tidak mau kalah dengan menyelenggarakan Forum Pengusaha China (CEF).

Nah, yang membedakannya adalah Yabuli memiliki tempat penangkaran panda. Meskipun tidak sebesar di Chengdu, Provinsi Sichuan, yang berada di wilayah barat daya China, penangkaran di Yabuli tetaplah unik karena areanya bersalju lazimnya wilayah timur laut daratan itu dengan musim dingin yang lebih panjang.

"Kalau Chengdu adalah tempat pertama kali ditemukan panda, memang iya. Tapi bukan berarti wilayah lain tidak ada panda," kata Yan Yunsheng dari Kantor Urusan Luar Negeri Pemprov Heilongjiang menanggapi kemusykilan Antara tentang terdamparnya satwa endemik China di Yabuli yang berjarak ribuan kilometer dari Chengdu.
Para penggemar olahraga ski bersiap diri di Desa Yabuli sebelum meluncur dari puncak Changbaishan, Jumat (20/12).
(ANTARA/M. Irfan Ilmlie)


Baca juga: Asita berharap wisatawan China akses wisata budaya

Ski
Matahari pulang lebih awal di setiap musim dingin yang memang malamnya lebih panjang daripada siangnya. Beberapa resor pun sudah tampak sibuk menerima pengembalian peralatan ski yang disewa oleh wisatawan.

Resor-resor tersebut buka sejak November, meskipun puncak kepadatan wisatawan baru terasa pada akhir Januari hingga pertengahan Maret yang merupakan musim libur panjang Tahun Baru Imlek.

Bulan Desember tidak terlalu ramai. Cuaca pun masih belum ekstrem sehingga suasana di Yabuli terbilang kondusif dan relatif nyaman untuk liburan pada musim dingin.

Para penggemar ski pemula tentu saja lebih leluasa bergerak melatih kemampuan berseluncur di atas hamparan kristal putih. Demikian pula dengan mereka yang sudah mahir. Untuk menuju puncak Gunung Changbai dengan menggunakan kereta gantung pun tidak perlu antre lama-lama. Berseluncur sampai lereng pun relatif lancar.

Tidak hanya ski resort, Yabuli juga sering kali menjadi tempat penyelenggaraan berbagai ajang kejuaraan, baik tingkat nasional maupun internasional.

Menariknya, desa yang dulunya miskin itu terus membangun berbagai fasilitas sehingga dalam 40 tahun terakhir sudah memiliki 54 jalur ski dengan ketinggian puncak 1.000 meter hingga 1.374 meter di dalam area seluas 90 kilometer persegi yang terbentang dari lereng Gunung Changbai hingga Gunung Zhangguangcai.

Fasilitas-fasilitas itu sudah bersertifikat International Snow Federation sehingga beberapa ajang internasional pernah diselenggarakan di Yabuli, di antaranya Asian Winter Games 1996, Winter Universiade 2009, World Youth Snowboarding Championship 2015, dan World Snowboarding Championship 2016.

Kalau pun tidak masuk dalam daftar tempat penyelenggaraan Winter Olympic Games 2022 di Beijing, Yabuli tidak ketinggalan pamornya karena tim ski dari Hong Kong menjadikannya sebagai tempat latihan.

Untuk menggunakan fasilitas ski resort di Yabuli, pengunjung dikenai tiket masuk rata-rata 300 yuan (sekitar Rp400.000) untuk empat jam atau 500 yuan (sekitar Rp1.000.000) untuk seharian penuh.

Tidak masalah bagi yang tidak bisa ski karena pihak pengelola menyediakan instruktur dengan tarif 600 yuan (Rp1.200.000) untuk dua jam.

Kalau tidak ingin main ski, masih ada wahana lainnya, seperti kereta gantung yang sepanjang hari siap mengantarkan pengunjung hingga ke puncak agar bisa berfoto dengan latar belakang barisan bukit salju yang membentengi China di perbatasan dan Rusia dan Korea Utara itu.

Ada juga kereta luncur yang ditarik anjing persis seperti Sinterklas atau bagi pasangan muda-mudi bisa berboncengan naik ATV salju.

Setelah lelah dan kedinginan bermain salju sepanjang hari, wisatawan masih dimanjakan dengan pemandian air panas (hotspring).

"Badan pun bisa segar kembali," kata Denny, pengusaha sepatu asal Tangerang, Banten, yang ditemui saat berendam di Yabuli Forest Hotspring, bersama kedua anak lelakinya, Kamis (19/12) malam.

Baca juga: Indonesia masuk tiga besar tujuan wisatawan kelas atas China

Pria berusia 37 tahun itu jauh-jauh dari Tangerang untuk berlibur di Yabuli bersama istri dan dua putra serta seorang putri.

"Kebetulan di Indonesia anak-anak sedang libur sekolah," ujar Denny yang baru pertama kalinya mengajak keluarga liburan di desa wisata yang berada jalur utama penghubung Harbin dengan Vladivostock, Rusia, itu.
Salah satu seni pahatan salju sedang dikerjakan di Harbin Sun Island International Snow Sculpture Art Expo, Provinsi Heilongjiang, China, Rabu (18/12).
(ANTARA/M. Irfan Ilmie)


Harbin tidak hanya punya Yabuli. Selama musim dingin Ibu Kota Provinsi Heilongjiang itu menyelenggarakan International Snow Sculpture Art Expo untuk memamerkan berbagai jenis seni pahatan dari salju di tanah lapang seluas 600.000 meter persegi di dekat Sungai Shonghua yang airnya membeku sejak November.

Ada juga Katedral St. Sophia, gereja ikonik berarsitektur Bizantium, yang dibangun di pusat Kota Harbin pada 1907 dan kini berfungsi sebagai museum religi.

Bagi yang suka kuliner, tidak perlu cemas karena beraneka ragam menu siap saji yang mengundang selera tersedia di Zhongyang Pedestrian Street tak jauh dari St Sophia.

Nah, tunggu apa lagi. Tentukan liburan akhir tahun Anda mulai sekarang, mumpung masih belum ramai. 

Baca juga: China sulap desa tertinggal jadi arena ski internasional

Baca juga: Mataram pelajari cara Pengzhou menyulap bencana menjadi berkah

 

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2019