Denpasar (ANTARA) - Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika memasang intensitas (intensity) meter pada 50 titik yang tersebar di sejumlah daerah di Pulau Dewata.

"Peralatan ini bukan untuk mengukur kekuatan gempa bumi dan mengirimkan pengamatan ke BMKG melalui internet secara otomatis, melainkan berguna mengestimasi tingkat getaran akibat gempa bumi dengan cepat sehingga dapat disampaikan ke pemerintah daerah sesegera mungkin," kata Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali I Made Rentin, di Denpasar, Rabu.

Selanjutnya, data hasil pengamatan dapat dijadikan salah satu parameter untuk memonitor dampak kerusakan yang disebabkan gempa bumi.

"Bali merupakan salah satu provinsi yang rawan gempa dan gelombang tsunami. Kondisi alam yang rawan ini tentunya harus diterima dan dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di batas pertemuan lempeng tektonik. Berbagai upaya perlu terus dilakukan untuk meningkatkan dan mengembangkan kapasitas masyarakat dan lembaga, terkait mitigasi bencana," ucapnya.

Dengan dasar itulah, dilakukan pemasangan intensitas meter pada 50 titik di berbagai kabupaten/kota di Bali, dengan pemasangan terbanyak di Kabupaten Buleleng sejumlah 12 unit.

"Pemasangan intensitas meter di UPTD Pengendalian Bencana BPBD Provinsi Bali, telah dilaksanakan dari 30 November hingga 1 Desember 2019, dan telah pula diuji coba. Hasilnya, berjalan dengan baik," ujar Rentin.

Baca juga: Korban gempa-puting beliung di Buleleng dikirim bantuan logistik

Baca juga: BPBD Bali tegaskan tidak ada bunyi sirine tsunami di Buleleng

Baca juga: BPBD Bali tegaskan status Gunung Agung tetap siaga


Kepala UPTD Pengendalian Bencana BPBD Provinsi Bali, Petrus Surianta mengharapkan setiap BPBD Kabupaten/Kota menyiapkan juga intensitas meter sebagai wujud sinergi BMKG dan BPBD dalam penanggulangan bencana.

"Alat ini sangat membantu untuk menentukan luasan asesmen awal yang dilakukan oleh BPBD Provinsi maupun Kabupaten/Kota pada saat terjadinya gempa bumi," ujarnya.

Dia mengemukakan, secara teknis alat ini mendeteksi tingkat guncangan gempa skala MMI. Dari I MMI hingga XII MMI. Digitizer pada intensitas meter akan memuncul skala intensitas, I-II MMI getaran tidak dirasakan atau dirasakan hanya oleh beberapa orang tetapi terekam oleh alat sehingga akan muncul warna putih.

Intensitas meter berwarna hijau atau III-V MMI dengan getaran gempa dirasakan oleh orang banyak tetapi tidak menimbulkan kerusakan. Benda-benda ringan yang digantung bergoyang dan jendela kaca bergetar. Kemudian, jika warna kuning muncul di alat intensitas meter atau VI MMI, bagian non struktur bangunan mengalami kerusakan ringan, seperti retak rambut pada dinding, genteng bergeser ke bawah dan sebagian berjatuhan.

Selanjutnya, VII - VIII MMI atau muncul berwarna jingga di alat digitizer pada intensitas meter, gempa yang terjadi menyebabkan banyak retakan terjadi pada dinding bangunan sederhana, sebagian roboh, kaca pecah, sebagian plester dinding lepas serta hampir sebagian besar genteng bergeser ke bawah atau jatuh. Struktur bangunan mengalami kerusakan ringan sampai sedang.

Jika di alat digitizer pada intensity meter berwarna merah atau IX-XII MMI, getaran gempa tersebut menyebabkan sebagian besar dinding bangunan permanen roboh. Struktur bangunan mengalami kerusakan berat, rel kereta api melengkung hingga bangunan hancur sama sekali.

"Pemanfaatkan teknologi digital sebagai sebuah terobosan atau inovasi dalam rangka meminimalisasi risiko bencana dengan keterpaduan unsur di dalamnya menjadi sesuatu yang memberi nilai positif dalam penanggulangan bencana," ucap Petrus Surianta.*

Baca juga: BPBD Bali: nihil kerusakan dampak gempa Jembrana

Baca juga: Gempa magnitudo 4,7 di Kuta-Nusa Dua tak timbulkan kerusakan

Baca juga: BPBD ajak masyarakat Bali tingkatkan kewaspadaan soal gempa

 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019