Magelang (ANTARA) - Pagi-pagi seorang warga datang ke salah satu rumah tetangga di desa yang sebentar lagi punya hajat pemilihan kepala desa.

Yang empunya rumah masih tidur. Bangunnya setiap pagi memang selalu tak serajin istrinya yang pegawai negeri dan harus apel terlebih dahulu di instansinya sebelum menjalani tugas.

"'Enten' (ada) tamu Pak!" begitu suara di balik kamar tidur sang empunya rumah.

Bergegas dia beranjak dari peraduan, bangun, dan menyambar sisir. Agar rambutnya yang awut-awutan menjadi rapi sehingga setidaknya layak menerima  tamu.

Tamunya, selain mau mengambil obeng yang ketinggalan di rumah itu, setelah beberapa hari sebelumnya dia membetulkan selot pintu rumah tersebut, juga menyodorkan foto salah satu calon kades yang hendak memasuki puncak pertarungan pilkades beberapa hari mendatang di daerah setempat.

"'Sekalian badhe matur. Nyuwun tulung dukunganipun (Sekaligus mau bicara. Minta tolong dukungannya kepada calon kades) Pak!'," ucapnya.

Si pemilik rumah "mengiyakan" begitu saja, setelah mendengarkan juga informasi bahwa ada bantuan untuk rukun tetangga dengan plot pemanfaatan yang kiranya akan diwujudkan bersama.

Berbagai desa di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah, tahun ini dan awal tahun depan punya agenda pilkades serentak.

Di Kabupaten Magelang, pilkades serentak di 294 desa pada Minggu (24/11), Kabupaten Kudus di 115 desa pada Selasa (19/11), Kabupaten Batang di 205 desa pada 29 September, Kabupaten Wonogiri di 186 desa pada 25 September, Kabupaten Jepara di 136 desa pada 17 Oktober, Kabupaten Pekalongan di 210 desa pada 13 November, dan Kabupaten Temanggung di 216 desa pada 9 Januari tahun depan dengan berbagai tahapan yang sedang berjalan sampai saat ini.

Bahkan, di antara para kandidat yang bertarung dalam pilkades itu, ada puluhan mereka yang merupakan pasangan suami-istri, seperti di Kudus 19 pasangan suami istri, Kabupaten Magelang 33 pasangan, dan Kabupaten Wonogiri tujuh pasangan.

Melalui akun Twitternya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, sempat menyinggung soal calon kades yang berasal dari kalangan pasangan suami-isteri itu.

Seorang calon kades yang juga salah satu pemimpin grup kesenian, bagian dari Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), sejak sekitar setahun lalu menyampaikan rencananya maju pilkades kepada para petinggi lainnya di komunitas tersebut. Komunitas itu berbasis penguatan kultur desa melalui tradisi budaya dan kesenian rakyat di kawasan gunung-gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang.

Nama sosok itu Sujono, dari Dusun Jurang, Desa Bandongan, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang. Para pegiat komunitas menyebutnya dengan panggilan "Pak Jono Gohmuko". Grup kesenian yang dipimpin pensiunan tentara dengan dinas terakhir di Rindam IV/Diponegoro di Kota Magelang itu, bernama "Sanggar Batara" berbasis di Desa Bandongan.

Kesenian khasnya bernama tarian "Gohmuko", ada unsur pencak silat, tetapi juga dikemas dengan gerak tarian lain oleh para penarinya dan tabuhan musik Jawa khas Magelang sebagai pengiring. Di Magelang, satu-satunya tarian "Gohmuko" hanya ada di tempatnya di dusunnya.

Seorang warga yang mendatangi salah satu rumah tetangganya pagi itu, bukanlah Pak Jono Gohmuko ataupun anggota tim suksesnya. Akan tetapi, hal itu sepenggal cerita kecil yang riil di desa lain, beda kecamatan dengan Pak Jono Gohmuko, namun sama-sama akan menggelar pilkades serentak di Kabupaten Magelang.

Dukungan moral politis diperoleh dari komunitasnya, ketika Pak Jono Gohmuko sekitar setahun lalu, menyampaikan ikhtiar maju pilkades tahun ini.

"Sudah telanjur kenal dan jadi bagian keluarga komunitas, tentu kalau kita mendukung (secara moril, red.), lumrah saja. Ada yang tidak mendukung juga tidak apa-apa. Dukungan kita bukan soal menang dan kalah. Tapi menunjukkan dinamika komunitas dengan orang-orangnya di desa masing-masing," ucap Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto dalam pertemuan tertutup sejumlah petinggi komunitas itu, jauh-jauh hari sebelum berbagai tahapan pilkades Kabupaten Magelang dibuka.

Sejumlah pemimpin tinggi dan pegiat Komunitas Lima Gunung selalu berkelindan dalam pembicaraan berbagai isu aktual, termasuk jika sedang berlangsung pesta demokrasi desa.
Pengendara sepeda motor berboncengan melintas di depan salah satu kantor desa di Secang, Kabupaten Magelang, dengan papan "banner" dua calon kades, Rabu (20/11/2019). (ANTARA/Hari Atmoko)

Supadi sendiri mengaku pernah mendapatkan dorongan untuk mencalonkan diri dalam pilkades di desanya di Girirejo, Kecamatan Ngablak, di kawasan Gunung Andong. Tetapi, dukungan diberikannya kepada seorang anggota grup kesenian desa yang dipimpinnya, "Padepokan Andong Jinawi" untuk maju pilkades dan calonnya itu menang.

Seorang petinggi lainnya, Riyadi, bahkan pernah menjabat satu periode kepala desa di kampung halamannya, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, di kawasan Gunung Merbabu, beberapa tahun lalu.

Namun, ia kalah ketika pilkada berikutnya untuk pencalonan sebagai petahana. Ia kini melanjutkan kepemimpinan pentingnya dalam Komunitas Lima Gunung, sekaligus sebagai pengelola Padepokan Warga Budaya Gejayan di desanya.

Begitu juga Sujono, pemimpin grup kesenian rakyat "Sanggar Saujana" Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan di kawasan antara Gunung Merbabu dan Merapi. Ia juga pernah dijajaki sejumlah tokoh desanya untuk maju pilkades, beberapa tahun lalu.

Tetapi, Sujono Keron telah telanjur menetapkan hati menjalani hidup dan berkiprah di jalan kesenian dengan berbasis lingkungan pertanian di kawasan itu.

Dalang muda yang juga pegiat komunitas itu, Sih Agung Prasetyo, dalam rangkaian pilkades tahun ini di desanya, juga sempat didorong mencalonkan diri.

Ia menolak permintaan itu secara santun, tetapi menyatakan ikut bertarung sebagai bagian dari tim sukses salah satu calon yang dipandang layak memimpin kampung halamannya di Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, tak jauh dari Gunung Andong.

Terkait dengan rangkaian pilkades tahun ini, Sarwo Edi, seorang petinggi komunitas yang secara definitif jabatannya Sekretaris Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, di kawasan Gunung Sumbing, harus mengampu jabatan sebagai pelaksana tugas kades setempat karena kadesnya maju pemilihan sebagai petahana.

Edi yang juga memimpin "Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing" Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, itu tidak maju pilkades tahun ini karena salah satu kandidat masih ada hubungan keluarga dengan dirinya.

Tentu saja tidak semua pemimpin, pegiat, dan anggota Komunitas Lima Gunung di berbagai desa dan dusun gunung-gunung itu secara riil boleh ikut Pilkades Bandongan dengan Pak Jono Gohmuko sebagai salah satu calon.

Tidak semua orang Komunitas Lima Gunung boleh memberikan suara untuk Pilkades Bandongan karena mereka tinggal di desa-desa lain di kawasan gunung-gunung Kabupaten Magelang.

Akan tetapi, sebagai dukungan moril, hal tersebut mereka pandang tak terelakkan. Baik menang maupun kalah pilkades, mereka tetap akan bertemu sebagai keluarga dan saudara, sebagai sesama bagian Komunias Lima Gunung dengan segala aktivitasnya.

Anggota "Sanggar Batara" yang dipimpin Pak Jono Guhmuko pun tentu harus beroleh kebebasan memberikan suara untuk sosok kandidat pilihannya. Hal itu, mengacu kepada prinsip-prinsip demokrasi yang antara lain kebebasan setiap orang menentukan pilihan.

Sanggar yang dipimpin dan komunitas yang Pak Jono Gohmuko ikut "ajur-ajer" (menyatu), adalah bagian gereget kehidupan sehari-hari pascapensiun dirinya dari dinas kemiliteran di berbagai daerah, seantero negeri, termasuk di Timor Timur sewaktu menjadi bagian Indonesia. Ia juga pernah bertugas di Papua.

Melalui sanggar dan komunitas itu, Pak Jono Gohmuko berkesempatan berkiprah, baik pementasan-pementasan di daerah itu maupun luar kota.

Ia turut berbagi kisah hidup serta pemaknaan atas nilai-nilai kearifan lokal desa kepada para tamu dalam dan luar negeri yang bertandang ke berbagai ajang Komunitas Lima Gunung. Komunitas itu memiliki puncak agenda tahunan berupa Festival Lima Gunung. Tahun ini, Festival Lima Gunung sebagai ke-18 kalinya.

Kalau Pak Jono Gohmuko maupun para kandidat kades lainnya di berbagai daerah menang pilkades, tentu saja harapannya mampu mengemban amanah warga desa masing-masing, sesuai ikhtiarnya.

Namun, kalau ia dan calon dari desa-desa lainnya kalah, tentu harus menerima kekalahan secara lapang dada, terhormat, dan bermartabat. Terlebih suatu puncak pesta demokrasi bukan segala-galanya untuk andil mereka dalam pembangunan kemajuan desa dan masyarakat. Banyak jalan lain untuk para tokoh itu ikut memajukan masyarakat dan desa masing-masing.

Yang menang selanjutnya memiliki tanggung jawab mulia memimpin warganya memajukan dan memakmurkan desa, sedangkan yang kalah juga bertanggung jawab secara mulia, tetap sebagai bagian dari desanya untuk hal serupa. Tidak harus dengan menduduki kursi kades.

Politik berangkulan yang telah dipancarkan sejumlah elite dalam tataran nasional belum lama ini, selain patut diteladani juga jangan dilupakan bahwa mereka juga bermandikan semangat kearifan desa di Indonesia.

Pesta demokrasi dan perpolitikan dalam tataran apapun, riskan menghadirkan keterbelahan masyarakat, tetapi juga kemudian ada waktu sesegera mungkin membangun kemauan menyatukan masyarakat dari keterbelahan itu.

Melalui daya upaya dan kearifan, ego politik kekuasaan memang sepatutnya segera bisa dicairkan setelah pesta demokrasi rampung. Demikian juga harapannya dengan perpolitikan desa.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019