Jakarta (ANTARA) - Siapa sangka jika pola makan berbasis nabati atau vegan erat kaitannya dengan kehidupan seorang tukang kayu di Inggris.

Faktanya sejarah mencatat kata vegan pertama kali diutarakan oleh seorang tukang kayu di Inggris bernama Donald Watson pada 1944. Pada tahun yang sama itulah suku kata baru “vegan” muncul dan mulai dikenal sebagai pola makan yang 100 persen sumbernya adalah nabati.

Donald Watson pada awalnya mengadaptasi pola makan vegetarian yakni pola makan yang tidak memakan daging, tetapi masih mengonsumsi susu sapi, telur, yogurt, dan keju.

Staf Ahli Vegan Society of Indonesia (VSI) Willy Yonas yang juga Pendiri ‘Sehat Seutuhnya’ mengatakan betapa sosok Donald Watson amat penting bagi kemunculan dan perkembangan awal veganisme.

Donald Watson (1910-2005) menjadi vegetarian pada 1924 dan kemudian bergabung dan menjadi sekretaris cabang Vegetarian Society di Leicester, Inggris.

Dia akhirnya percaya bahwa vegetarisme sudah terlambat untuk reformasi, dan dia mulai "berkorespondensi dengan sejumlah kecil orang, tersebar jauh dan luas" yang berbagi keprihatinannya. Pada Desember 1943, Watson memberikan presentasi "Haruskah Vegetarian Makan Produk Susu?" pada pertemuan komunitas setempat.

Pada Agustus 1944, beberapa anggota Komunitas Vegetarian meminta agar bagian dari buletinnya dikhususkan untuk vegetarianisme non-susu.

Ketika permintaan ditolak, Donald Watson, sekretaris cabang Leicester, membuat buletin triwulanan baru pada November 1944, dengan harga mahal. Dia menyebutnya Berita Vegan.

Dia memilih kata vegan sendiri, berdasarkan "tiga huruf pertama dan dua huruf terakhir 'vegetarian'" karena kata itu menandai, dalam kata-kata Watson, "awal dan akhir vegetarian", tetapi bertanya kepada para pembacanya apakah mereka dapat memikirkan sesuatu yang lebih baik daripada vegan untuk mendukung "vegetarian non-susu".

Baca juga: Restoran ini sajikan masakan Padang untuk vegan

Baca juga: KFC uji coba menu "ayam tanpa daging" di AS

Baca juga: Cangkang kapsul rumput laut bidik segmen pasar vegetarian



Pertemuan pertama

Komunitas Vegan yang baru mengadakan pertemuan pertamanya pada awal November di Attic Club, 144 High Holborn, London.

Mereka yang hadir adalah Donald Watson, Elsie B. Shrigley, Fay K. Henderson, Alfred Hy Haffenden, Paul Spencer dan Bernard Drake.

Dalam perkembangannya Hari Vegan Sedunia pun diperingati setiap 1 November untuk menandai berdirinya Lembaga dan bulan November dianggap sebagai Bulan Vegan Dunia.

Komunitas Vegan segera menjelaskan bahwa mereka menolak penggunaan hewan untuk tujuan apa pun, tidak hanya dalam makanan.

Pada 1947, Watson menulis: "VEGAN menolak MITOS bahwa kehidupan manusia bergantung pada eksploitasi makhluk-makhluk hidup yang perasaannya sama dengan perasaan kita."

Dari 1948, halaman depan Bultein Vegan berbunyi: "Menganjurkan hidup tanpa eksploitasi", dan pada 1951 Lembaga menerbitkan definisi veganisme sebagai "doktrin bahwa manusia harus hidup tanpa mengeksploitasi hewan".

Masyarakat vegan pertama di Amerika Serikat didirikan pada 1948 oleh Catherine Nimmo dan Rubin Abramowitz di California, yang membagikan buletin Watson.

Pada 1960, H. Jay Dinshah mendirikan American Vegan Society (AVS), yang menghubungkan veganisme dengan konsep ahimsa, "tidak merugikan" dalam bahasa Sanskerta.

Menurut Joanne Stepaniak, kata vegan pertama kali diterbitkan secara independen pada 1962 oleh Oxford Illustrated Dictionary, didefinisikan sebagai seorang vegetarian yang tidak makan mentega, telur, keju, atau susu.

Pada 1960-an dan 1970-an, gerakan makanan vegan muncul sebagai bagian dari tandingan budaya di Amerika Serikat yang berfokus pada kekhawatiran tentang diet, lingkungan, dan ketidakpercayaan terhadap produsen makanan, yang mengarah pada meningkatnya minat dalam berkebun organik.

Salah satu buku vegan paling berpengaruh pada masa itu adalah naskah 1971 karya Frances Moore Lappé, Diet for a Small Planet. Itu terjual lebih dari tiga juta kopi dan menyarankan "keluar dari rantai makanan".

Pada dekade berikutnya, muncul penelitian oleh sekelompok ilmuwan dan dokter di Amerika Serikat, termasuk dokter Dean Ornish, Caldwell Esselstyn, Neal D. Barnard, John A. McDougall, Michael Greger, dan ahli biokimia T. Colin Campbell, yang berpendapat bahwa diet berdasarkan pada lemak hewani dan protein hewani, seperti diet pola Barat, merugikan kesehatan.

Mereka menghasilkan serangkaian buku yang merekomendasikan diet vegan atau vegetarian, termasuk McDougall's The McDougall Plan (1983), Diet John Robbins untuk Amerika Baru (1987), yang mengaitkan makan daging dengan kerusakan lingkungan, dan Program Dr. Dean Ornish untuk Reversing Heart Penyakit (1990).

Pada 2003, dua asosiasi ahli gizi utama Amerika Utara menunjukkan bahwa pola makan vegan yang terencana dengan baik cocok untuk semua tahap kehidupan. Ini diikuti oleh film Earthlings (2005), Campbell's The China Study (2005), Rory Freedman dan Kim Barnouin's Skinny Bitch (2005), Jonathan Safran Foer's Eating Animals (2009), dan film Forks over Knives (2011).

Pola makan vegan menjadi semakin umum di tahun 2010-an. Parlemen Eropa mendefinisikan arti vegan untuk label makanan pada 2010, yang berlaku pada 2015.

Kepala ICT & Humas VSI Karim Taslim mengatakan dalam perkembangannya rantai restoran mulai menandai item vegan pada menu mereka dan supermarket meningkatkan pilihan makanan olahan vegan mereka. Bahkan, kata dia, artikel Wikipedia bahasa Inggris tentang veganisme dilihat 73.000 kali pada Agustus 2009 tetapi 145.000 kali pada Agustus 2013.

Artikel tentang veganisme lebih banyak dilihat selama periode ini daripada artikel tentang vegetarisme dalam Wikipedia bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Portugis, Rusia, dan Spanyol.

Pada 2016, pencarian Google untuk "vegan" meningkat 90 persen naik dari kenaikan 32 persen tahun sebelumnya.

Sementara pasar daging tiruan global meningkat delapan belas persen antara 2005 dan 2010, dan di Amerika Serikat sebesar delapan persen antara 2012 dan 2015.

Di beberapa bagian Asia, beberapa Organisasi Vegan juga muncul pada awal 2010. Vegan Society of Indonesia (VSI) didirikan pada Agustus 2009.

Munculnya VSI yang diikuti oleh beberapa organisasi serupa di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dalam perkembangan selanjutnya memiliki dampak besar pada veganisme di Asia dan bahkan dunia.

Pada akhir 2017, para pimpinan organisasi dan komunitas vegan dari berbagai negara, berkumpul di Taiwan, untuk saling bertukar pengalaman dan informasi terkini mengenai perkembangan vegan dunia serta membahas berbagai issue terbaru.

Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk membentuk satu Wadah tunggal bagi organisasi dan komunitas vegan dari seluruh dunia, yang diberi nama World Vegan Organisation (WVO), dan secara resmi diperkenalkan ke public pada tanggal 1 Januari 2018.

Pada 1 Januari 2018 ini kemudian diperingati sebagai tanggal berdirinya WVO. Terpilih sebagai President WVO yang pertama, Dr. drs. Susianto, MKM., yang berasal dari Indonesia. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi bangsa Indonesia, sekaligus pengakuan dari dunia atas kiprah dan perkembangan vegan yang begitu pesat di Indonesia.

Baca juga: Tom Hanks stop makan daging tiap Senin

Baca juga: Diet pangan nabati bantu cegah gagal jantung

Baca juga: Indonesia bangun destinasi wisata vegetarian kelas dunia



Gaya hidup

Kepala ICT & Humas VSI Karim Taslim mencatat dalam perkembangannya, ada juga istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan pola makan vegan, yaitu whole food plant-based.

Kata whole food plant-based itu dibuat oleh T. Collin Campbell, PhD, yang adalah seorang professor dari Cornell University dan penulis buku the China Study, Whole, dan juga pencetus dokumentari Forks Over Knives. Ia lebih suka menggunakan kata whole food plant-based karena itu lebih menggambarkan makanan nabati seperti apa yang sebenarnya baik untuk dimakan, yang adalah nabati yang utuh.

Faktanya karena banyak orang vegan, yang mengkonsumsi junk food. Mereka banyak makan kue-kue yang tinggi gula, lemak/minyak, atau keripik-keripik dan gorengan, walaupun tidak ada produk hewaninya sama sekali.

Ketika melihat kata vegan atau veganisme, terkadang bukan hanya berbicara soal pola makan, tetapi itu adalah sebuah gaya hidup. Karena orang yang menganggap dirinya vegan, mereka pun menghindari penggunaan produk-produk yang mengandung unsur hewani. Contohnya, sepatu kulit, tas kulit, dompet kulit yang asalnya dari hewan. Karena mereka juga meyakini akan animal cruelty-free atau kebebasan binatang dari kekasaran atau pembunuhan.

Sedangkan alasan mengapa orang mengadaptasi whole food plant-based diet atau vegan diet bisa berbeda-beda. Apakah itu karena alasan kesehatan, alasan etis terhadap binatang, atau yang lainnya.

Memang pola makan vegan ini semakin populer di zaman sekarang. Salah satu alasannya karena memang sudah banyak sekali penelitian di Amerika, Eropa, yang menunjukan bahwa pola makan vegan ini tinggi serat, antioksidan, yang sangat-sangat baik dalam mencegah dan melawan penyakit tidak menular (PTM), seperti diabetes, penyakit jantung koroner, stroke dan lainnya.

Satu penelitian di Indonesia yang dipublikasikan di Indonesia Journal of Human Nutrition, menunjukan juga kalau orang-orang yang menganut pola makan vegan, memiliki gula darah dan trigliserida yang baik oleh karena tingginya asupan serat dari kacang-kacangan, biji-bijian, sayur dan buah yang dikonsumsi setiap harinya.

Faktanya banyak manfaat bagi kesehatan saat seseorang mengadaptasi pola makan vegan/whole food plant-based. American Dietitian Association juga sudah menyatakan bahwa bahwa pola makan ini ketika direncanakan dengan baik, dapat memenuhi semua kebutuhan gizi dan nutrisi dalam setiap tingkat kehidupan (dari ketika ibu hamil, anak kecil, dan orang dewasa).*

Baca juga: Hari ini, cek kesehatan gratis hingga festival bakso

Baca juga: Mencicipi tumpeng versi vegetarian

Baca juga: Jadi vegetarian tak perlu kuatir kurang gizi

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019