Jakarta (ANTARA) - Pada hari Selasa, 29 Oktober 2019, menandai satu tahun sudah berlalu sejak kecelakaan tragis Lion Air nomor penerbangan JT 610 terjadi di perairan Karawang, Jawa Barat.

Boeing Company sebagai pabrikan pembuat pesawat terbang Boeing B-737 MAX 8 yang terlibat pada kecelakaan itu meminta maaf kepada keluarga korban.

Di dalam pernyataan tertulisnya yang dimuat di sejumlah media massa nasional di Jakarta, Selasa, CEO dan Presiden Boeing Company Dennis Muillenberg menyatakan, "Atas nama segenap keluarga besar Boeing, kami menyampaikan penyesalan dan dukacita mendalam atas kecelakaan yang terjadi."

Kecelakaan Lion Air nomor penerbangan JT 610, kata Muillenberg dalam penyataan terbuka itu, akan terus menjadi kesedihan yang mendalam bagi dirinya. Muillenberg tidak bisa membayangkan rasa dukacita yang dialami keluarga dan sahabat para penumpang dan awak pesawat terbang itu.

Muillenberg ada di antara rombongan besar keluarga korban Lion Air nomor penerbangan JT 610 dan manajemen Lion Air Group yang bertolak dari dermaga JICT II di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa ini.

Mereka bertolak menggunakan KRI Semarang-954 ke perairan di mana kecelakan perdana melibatkan Boeing B-737 MAX8 nomor registrasi PK-LQP rute Jakarta-Pangkal Pinang, Kepulauan Riau, yang dikemudikan kapten pilot Bhavye Suneja (kebangsaan India) dan kopilot Harvino di Tanjung Pakis, Jawa Barat.

Baca juga: Benang kusut penyebab jatuhnya pesawat Lion Air JT 610

Muillenberg dalam pernyataan itu, "Dengan rasa tanggung jawab, kami berjanji dengan sepenuh hati untuk memberikan dukungan kepada keluarga dan masyarakat yang terkena dampak tragedi ini dengan memberikan bantuan langsung melalui Dana Santunan Boeing."

Pada tanggal 24 September lalu, BBC menyiarkan bahwa Boeing Company akan memberikan santunan berupa dana sebanyak 144.000 dolar Amerika Serikat kepada keluarga korban Lion Air nomor penerbangan JT 610. Dana itu berasal dari dana santunan yang diumumkan Boeing Company pada bulan Juli lalu.

Muillenberg pada saat akan naik ke lambung KRI Semarang-594 tidak bersedia memberikan keterangan apa pun.

Setelah Lion Air nomor penerbangan JT 610, kembali terjadi kecelakaan melibatkan Boeing B-737 MAX 8 pada maskapai penerbangan Ethiopian Airlines nomor penerbangan ET 302 pada Maret 2019, dengan 157 orang di dalam kabin pesawat terbang itu tiada yang selamat.

Setahun lalu, PK-LQP yang memakai teknologi pengendalian penerbangan yang digadang-gadang paling canggih dari Boeing, yaitu MCAS (Manouevering Characteristics Augmentation System), jatuh ke laut dengan jumlah korban jiwa 189 orang, termasuk dua pilot, lima awak kabin, satu anak-anak, dan dua bayi.

KNKT telah mengumumkan hasil penyelidikan mereka berdasarkan pemeriksaan dan pengujian mendalam dan saksama atas berbagai instrumen, petunjuk, bukti-bukti, dan hal-hal lain terkait yang sahih. Pengumuman itu sudah dilakukan di Jakarta beberapa hari lalu.

Baca juga: Menhub minta semua pihak hormati laporan akhir investigasi Lion JT 610

KNKT menyimpulkan ada sembilan faktor penyumbang kecelakaan mematikan itu dapat terjadi, sebagaimana dinyatakan secara tertulis, yaitu:

1. Selama desain dan sertifikasi Boeing 737 MAX 8 dibuat asumsi-asumsi terkait dengan respons pilot terhadap kerusakan. Meski konsisten dengan pedoman industri saat ini, ternyata asumsi ini tidak benar.

2. Berdasarkan pada asumsi ini, perangkat lunak MCAS bergantung pada sensor tunggal dan dinyatakan tepat dan memenuhi semua persyaratan sertifikasi.

3. MCAS pada pesawat dirancang untuk bergantung sepenuhnya pada sensor AoA. Hal ini membuatnya rentan terhadap input yang salah dari sensor itu. AoA atau Angle of Attack (sudut serang) adalah parameter kunci dalam penerbangan yang menunjukkan sudut antara sayap pesawat dan arus udara yang mengalir ke arah pesawat.

Jika sudut ini terlalu tinggi, pesawat bisa saja mandek atau kehilangan daya angkat. Data parameter diambil dari dua sensor, satu di antaranya terletak di sisi hidung pesawat.

4. Dalam manual penerbangan dan sewaktu pelatihan pilot, tidak ada panduan tentang MCAS atau penggunaan trim yang lebih terperinci. Ini makin menyulitkan kru penerbangan untuk merespons MCAS yang bekerja secara otomatis.

5. Peringatan AoA DISAGREE tidak secara benar diaktifkan selama pengembangan Boeing 737 MAX 8. Akibatnya, peringatan ini tidak muncul selama penerbangan dengan sensor AoA yang salah dikalibrasi. Ini juga tidak dapat didokumentasikan oleh kru penerbangan dan karena itu tidak tersedia untuk membantu bagian pemeliharaan dalam mengidentifikasi sensor AoA yang salah dikalibrasi.

6. Sensor pengganti AoA yang dipasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan telah salah dikalibrasi selama perbaikan sebelumnya. Kalibrasi yang salah ini tidak terdeteksi selama perbaikan.

7. Investigasi juga tidak dapat menentukan bahwa uji pemasangan sensor AoA telah dilakukan dengan benar. Namun, kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.

8. Kurangnya dokumentasi terkait penerbangan pesawat dan catatan perawatan tentang stick shacker dan penggunaan Runaway Stabilizer NNC yang terus-menerus menunjukkan bahwa informasi ini tidak tersedia bagi kru pemeliharaan di Jakarta dan juga bagi kru kecelakaan. Ini menyulitkan para pihak terkait untuk melakukan tindakan yang sesuai.

9. Sejumlah peringatan, aktivasi MCAS yang terus berulang dan gangguan komunikasi dengan petugas pengendali penerbangan udara (ATC) tidak dapat dikelola secara efektif.

Baca juga: Lion Air laksanakan rekomendasi KNKT soal JT 610

Hal ini ini disebabkan oleh sulitnya situasi dan kurangnya penanganan manual, eksekusi Non-Normal Checklist (NCC)—yang merupakan prosedur untuk memecahkan masalah—serta komunikasi awak pesawat, mengarah pada tidak efektifnya aplikasi Crew Resource Management yaitu metode koordinasi antarpilot yang dirancang untuk memperbaiki respons terhadap kesalahan dan mengurangi stres.

Kekurangan ini sebelumnya telah diidentifikasi selama pelatihan dan muncul kembali selama penerbangan yang kemudian berakhir dengan kecelakaan.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019