... Nilai-nilai diabaikan. Semua tahapan hanya prosedural. Tapi substansinya tidak memenuhi syarat...
Jakarta (ANTARA) - Dewan Mahasiswa (Dema) UIN Jakarta mengatakan akan kembali turun berdemonstrasi menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, di Jakarta, pada 20 Oktober 2019.

"Kemungkinan sebelum pelantikan presiden kami akan turun," ujar Wakil Presiden Dema UIN Jakarta, Riski Ariwibowo, saat berdiskusi di Warung Jati Timur Raya Nomor 7, Jakarta, Kamis.

Namun sampai saat ini, ia menilai mahasiswa masih menahan diri untuk melihat keadaan dan situasi pascapelantikan anggota Dewan yang baru. "Kami punya forum kajian di Ciputat, nanti dari sana kami akan mengkonsolidasi kepada unit-unit lain," kata dia.

Ia menjelaskan alasan mengapa mahasiswa mau turun bukan karena ada yang menunggangi mereka tetapi semua berawal dari nurani yang terusik karena tingkah laku pemegang kekuasaan.

Ia menambahkan tuntutan mereka jelas, karena UU KPK sudah disahkan padahal tidak masuk program legislasi nasional. Selain itu, beberapa RUU lain juga seperti terburu-buru disahkan menjelang akhir jabatan. Walau begitu, pemerintah memutuskan menunda pemberlakuan beberapa RUU yang dinilai bermasalah.

"Mengapa di akhir masa jabatan ini DPR sudah terburu-buru mengesahkan UU KPK? Sampai saat ini kami masih melihat situasi dan keadaan," ujar Riski.

Juga baca: Menko Maritim: Demonstrasi boleh asal jangan merusak

Juga baca: Tak ada konsentrasi massa, arus lalu lintas di Palmerah normal

Juga baca: Demo DPR, Mahasiswa berdatangan di Stasiun Palmerah

Ia juga mengkritisi tindakan represif polisi di Kendari yang dinilai tidak sesuai prosedur tetap yang mereka buat sendiri, dimana ada kesan menghalangi proses penyampaian pendapat.

"Demokrasi, prinsip dasarnya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Mahasiswa akan selalu menjadi oposisi Pemerintah. Dimana pemerintah saat ini terlalu berpihak ke elit. Karena banyak kebijakan yang tidak pro rakyat," ujar dia

Dalam kesempatan yang sama, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan, demokrasi di Indonesia bertopeng sehingga tidak berlebihan ketika mempertanyakan demokrasi dan penegakan hukum saat ini.

"Demokrasi kita bertopeng. Sangat paradoks. Kita tidak membangun nilai-nilai demokrasi dengan sebenarnya," ujar dia, saat menjadi pembicara dalam kajian bertajuk Quo Vadis Demokrasi dan Penegakan Hukum di Indonesia yang digelar Din Syamsuddin itu.

Pendapat Siti berdasarkan Pemilihan Umum 2019 dimana saat itu menurut dia demokrasi cenderung dipolitisasi. "Nilai-nilai diabaikan. Semua tahapan hanya prosedural. Tapi substansinya tidak memenuhi syarat," ujar peneliti senior Ilmu Politik itu.

Akibat dari tahapan prosedural yang diabaikan tadi menjadikan konflik antarmasyarakat menjadi-jadi. Padahal seharusnya, semakin demokratis sistem dijalankan, semakin kecil konflik. Tapi di Indonesia yang terjadi sebaliknya.

"Saya agak terpukau, kita berdemokrasi tapi tidak juga membangun demokrasi. Indeks demokrasi kita turun dilihat dari indikator kebebasan menyatakan pendapat turun. Kinerja demokrasi juga turun," ujar Zuhro.

Oleh karena itu, ia menilai gerakan konsolidasi masyarakat sipil memang perlu, karena kita tidak bisa berharap banyak kepada partai-partai politik lagi.
"Mereka (parpol) sangat politis dan sangat berkontestasi atas kepentingannya sendiri," ujar Siti.

Tentang diskusi-diskusi seperti itu, Samsuddin berkomentar, "Memang diskusi-diskusi seperti ini akan terus mengulang-ulang. Tapi itu yang perlu."

Ia juga tidak setuju dengan tindakan dan pandangan sementara kalangan bahwa penganut agama tertentu itu anarkis. Namun, ia mengingatkan kalau pemerintah tidak bisa mematikan ideologi yang sudah melekat di bangsa ini. "Tidak boleh dan tidak akan bisa mematikan ideologi itu," ujar dia.

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019