Mataram (ANTARA) - Anggota DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) Mori Hanafi menilai Pemerintah Provinsi NTB lamban dalam menuntaskan sejumlah persoalan dengan PT Angkasa Pura I selaku pengelola Bandara Internasional Lombok (BIL) di Kabupaten Lombok Tengah.

"Ada beberapa persoalan yang sampai sekarang belum beres, terkait aset Pemprov NTB di BIL. Soal 'ruislag' lahan pemda untuk membangun jalan 'by pass' Mandalika dan soal kontribusi Angkasa Pura (AP) terhadap pemda," ujarnya di Mataram, Selasa.

Baca juga: Legislator keberatan Bandara Internasional Lombok dikelola swasta

Mori menyebutkan, untuk kasus "ruislag", contohnya, terdapat lahan milik Pemprov NTB di BIL seluas 57.800 m2. Begitu pun PT AP memiliki lahan seluas 57.000 m2. Lahan-lahan ini berlokasi di pinggir area BIL.

Keberadaan lahan PT AP inilah yang kemudian ingin di-"ruislag" oleh Pemprov NTB untuk bisa dibangun jalan "by pass" menuju KEK Mandalika. Hanya saja hal itu belum bisa terwujud lantaran lahan tersebut masih menjadi miliki AP. Padahal, proses "ruislag" tersebut sudah dilakukan dua tahun lalu.

Baca juga: Dukung MotoGP, landas pacu bandara Lombok diperpanjang

"Proses 'ruislag' lahan antara Pemprov NTB dan pihak PT Angkasa Pura I di BIL ini semestinya dipercepat penyelesaiannya, karena persoalan penting untuk membangun fasilitas jalan menuju ke KEK Mandalika. Namun. hal itu tidak bisa dilakukan karena tanah itu sampai sekarang masih miliknya Angkasa Pura," katanya.

Oleh karena itu, tanah itu harus segera di-"ruislag" agar Pemprov NTB bisa mempergunakannya untuk memperluas jalan "by pass". Begitu pun PT AP tidak bisa memperpanjang landasannya karena masih terhalang belum tuntasnya "ruislag" itu.

Selain persoalan tersebut, kata Mori, Pemprov NTB juga tidak bisa cepat menuntaskan kontribusi yang harus dibayarkan PT AP kepada daerah atas penyewaan sejumlah aset yang dikelola oleh PT AP dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 sebesar Rp41,51 miliar berdasarkan perhitungan tim appraisal dari Pemprov NTB.

"Besaran nilai appraisal yang dilakukan Pemprov NTB itu ditolak AP, karena berdasarkan penghitungan AP jumlahnya Rp1 miliar saja per tahunnya. Perbedaan taksiran inilah yang tidak pernah ketemu," kata Mori.

Adanya perbedaan itu pada 27 Juli, kata dia, kedua pihak menyerahkan proses penghitungannya kepada BPKP sebagai lembaga yang netral untuk melakukan penghitungan dan hasil inilah yang nanti jadi pedoman.

Menurut dia, atas lambatnya penyelesaian berbagai persoalan tersebut. DPRD kemudian mendorong agar Pemprov NTB bisa menyelesaikan dengan cepat. Bahkan, jika diperlukan Pemprov NTB bisa mengajak DPRD untuk duduk bersama membahas masalah tersebut, sehingga ada jalan keluar.

"Kami hanya mendorong agar permasalahan ini tidak berlarut-larut. Kalau ini tidak didorong, rencana pemerintah pusat mempercepat pembangunan akses 'by pass' Mandalika tentu menjadi terhambat juga," katanya.
 

Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019