Jakarta (ANTARA) - Sempat diremehkan karena tidak bisa berbahasa Jerman saat menempuh pendidikan doktoral, Hutomo Suryo Wasisto (32), kemudian membuktikan bahwa ia bisa bertahan dan menjadi yang terbaik di kampus itu.

Ia mengenang masa-masa awalnya menuntut ilmu di Technische Universität Braunschweig (TU Braunschweig) Jerman sebagai masa yang lumayan berat. Meski pernah mempelajari bahasa Jerman saat menempuh studi sarjana di Universitas Gadjah Mada, namun saat tiba di Jerman ia baru saja pulang dari Taiwan menyelesaikan pendidikan magisternya.

"Saya malah ngomong pakai bahasa Mandarin. Saya diremehkan karena menggunakan bahasa Inggris, sampai ada yang bilang kalau mau kuliah pakai bahasa Inggris bukan di Jerman, tapi di Inggris dan Amerika Serikat, dan banyak juga yang tidak yakin saya bisa menyelesaikan kuliah di Jerman," ujar diaspora Indonesia yang saat ini berkarir sebagai Kepala Optoelectromechanical Integrated Nanosystems for Sensing (OptoSense) Group di Laboratoryfor Emerging Nanometrology (LENA), Braunschweig, Jerman, tersebut.

Lelaki yang akrab disapa Ito itu merupakan salah seorang pakar nanoteknologi Indonesia yang berkarir di Jerman. Kini, ia bahkan mengajar di kampus dengan bahasa Jerman. Penguasaan bahasa Jerman merupakan salah satu kesuksesan dalam menyelesaikan pendidikan di Jerman.

Selain itu, mental merupakan kunci utama keberhasilan seseorang agar bisa menyelesaikan studi di luar negeri tepat waktu.

Ia membuktikan sendiri dengan meraih gelar Doktor Ingenieur (Dr Ing) dalam bidang Teknik Elektro dengan predikat summa cumlaude, hanya dalam waktu tiga setengah tahun. Ia juga meraih sejumlah penghargaan jurnal ilmiah terbaik. Hingga saat ini, ia memiliki publikasi 45 jurnal internasional bersama, 130 mengikuti konferensi, tujuh kali dosen tamu, dan dua hak paten (paten Eropa dan Jerman).

"Saya selalu bilang ke mahasiswa saya dari Indonesia."Jung" (sebutan untuk anak muda bahasa Jerman), kalau mau bertahan di sini maka harus mempunyai mental yang bagus. Jangan langsung merasa rendah diri. Kita harus buktikan dengan hasil dari usaha kita," terang dia.

Ito juga meyakinkan bahwa kualitas generasi muda Indonesia tidak kalah dengan Jerman. Ia bahkan suka "gregetan" kalau ada sesuatu yang masih perdebatan panjang, namun ia yakin kalau diberikan pada mahasiswa Indonesia maka permasalahan itu akan selesai.

Setelah menyelesaikan kuliah doktor, Ito melanjutkan postdoctoral di School of Electrical and Computer Engineering (ECE), Georgia Institute of Technology, Atlanta, Amerika Serikat, pada 2015 hingga 2016. Saat berada di bandara di Amerika Serikat, ia mendapat telepon dari kampusnya di Jerman.

Baca juga: Kemenristekdikti: SCKD forum diaspora bangun bangsa

"Rektornya bilang, "kami akan mendapatkan kamu lagi". Tak lama kemudian ditawarkan satu posisi di kampus itu."

Tak hanya mendapatkan posisi, ia juga mendapatkan status sebagai "permanent residence". Bahkan beberapa kali ada yang menanyakan mengapa tidak pindah warga negara Jerman saja. Ito mengaku hal itu tak pernah terpikirkan olehnya, sampai saat ini ia masih memegang paspor Indonesia.

Minat penelitiannya masih mengenai nanoteknologi, terutama di bidang nanoteknologi elektronika. Elektronika merupakan bidang yang dibencinya ketika kuliah di UGM. Minat penelitiannya meliputi nano opto electromechanical systems (NOEMS), nano sensors,nano electronics, nano LEDs, nano generators, dan nano metrology.

Terjerumus

Ayah yang telah memiliki dua anak itu, mengaku "terjerumus" dalam menggeluti nanoteknologi. Pada mulanya, ia mengaku ingin menjadi dokter. Ia berasal dari keluarga dokter, orangtuanya dan juga kakaknya seorang dokter.

Namun nasib berkata lain, ia tidak diterima di Fakultas Kedokteran UGM. Dua kali ditolak dan malah diterima program studi Teknik Elektro. Ia kemudian berprinsip apa yang sudah di depan mata harus dikerjakan.

"Saya sempat stres, tapi setelah itu saya menjadi lulusan yang terbaik. Lulus hanya dalam waktu tiga tahun tiga bulan. Teman-teman wisuda saya, angkatan di atas saya," tambah dia.

Ia masuk kuliah pada September 2004 dan kemudian lulus pada Februari 2008. Ia menjadi mahasiswa yang lulus tercepat, termuda dan terbaik. Setelah lulus, ia mendapatkan berbagai macam tawaran. Salah satunya tawaran dari seorang profesor di Asia University, Taiwan, untuk melanjutkan pendidikan magisternya bidang teknik semikonduktor.

"Saat itu saya lagi olahraga, ada telepon ternyata dari seorang profesor di Asia University. Ada tawaran ini, mau enggak," kenang dia.

Akhirnya ia menerima tawaran itu hingga akhirnya melanjutkan pendidikan di Jerman dengan spesifikasi nanoteknologi. Menurut dia, nanoteknologi sudah akrab di kehidupan manusia. Contohnya yakni layar ponsel pintar yang menggunakan teknologi nano screens.

Selama ini, masyarakat menganggap nanoteknologi itu hanya mengecilkan suatu barang. Namun di Jerman, kata dia lagi, tidak hanya mengecilkan suatu barang tetapi menjadikannya suatu produk baru.

Pada program Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2019 yang diselenggarakan Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Ito ingin melanjutkan kerja sama yang telah dibangun bersama lembaga penelitian dan universitas di Tanah Air.

Ia dan koleganya juga sedang mengembangkan teknologi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan atau prioritas dari pemerintah Indonesia, seperti untuk pangan (nanosensors untuk kesuburan tanah, deteksi jamur, monitor kualitas makanan), energi(nanodevices untuk energi listrik terbarukan dan sebagainya), kesehatan (mikroskop mini), dan beberapa sensor lainnya untuk digunakan di rumah sakit dan daerah terpencil, lingkungan (nano sensors untuk deteksi gas, narkotika, kontaminasi air, dan nanopartikel), dan maritim.

Selain itu, Ito juga membantu mahasiswa Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikannya, maupun penelitian khususnya nanoteknologi di Jerman.


Baca juga: Menristekdikti dukung ilmuwan diaspora ikut serta bangun SDM

Baca juga: Dirjen SDID raih penghargaan dari ilmuwan dunia


 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019