Perencanaan kontingensi merupakan salah satu jenis perencanaan dalam manajemen bencana yang diperlukan sebagai langkah kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya bencana/kedaruratan
Mataram (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat menyusun perencanaan kontingensi bencana agar lebih siap menghadapi setiap bencana yang akan terjadi.

"Kita memang tidak pernah berharap akan terjadinya bencana. Tetapi faktanya bencana bisa datang dan terjadi kapan saja. Dan hingga saat ini belum ada teknologi yang dapat memprediksi datangnya bencana itu secara pasti," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, H. Ahsanul Halik di Mataram, Kamis.

Perencanaan kontingensi, katanya, merupakan salah satu jenis perencanaan dalam manajemen bencana yang diperlukan sebagai langkah kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya bencana/kedaruratan.

Ia menegaskan perencanaan kontingensi diperlukan sebagai proses kesiapan dan kemampuan menghadapi bencana. Termasuk memperkirakan kejadian bencana, sehingga dapat mencegah bencana, mengurangi dampak, menanggapi secara efektif dan memulihkan diri dari dampak bencana tersebut.

Karena itu, ia mengajak semua pihak, selain meningkatkan kewaspadaan, juga bersama-sama menyiapkan rencana kontijensi atau skenario penangangan bencana. Mulai dari Identifikasi karakteristik ancaman, kemungkinan kejadian dan resiko yang timbul, sekaligus memetakan pihak-pihak yang terlibat.

Selain itu, kata dia, juga pembagian tugas, kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing SKPD maupun pelibatan peran aktif seluruh organisasi-organisasi masyarakat yang ada.

Rencana kontingensi tersebut, kata dia, harus dilakukan menyeluruh dan antisipatif. Artinya, kalau ada gempa maka mulai sekarang harus disiapkan struktur bangunan tahan gempa. Kalaupun gunung api, maka harus dirancang juga bangunan yang mampu bertahan sampai evakuasi selesai dilakukan.

"Begitupun kalau banjir harus tahan terhadap banjir," katanya.

Karena itu, kata dia, perencanaan pembangunan di NTB mulai saat ini harus sama-sama dipikirkan juga termasuk di dalamnya terkait dengan indeks risiko bencana.

"Sebelum membangun infrastruktur, harus disertai rekomendasi ketahanan dan kajian kebencanaan berbagai instansi atau lembaga yang kompeten," kata Ahsanul Halik .

Sementara itu, Anton Roy Purnama, penyusunan rencana kontingensi (renkon) Gunung Barujari Lombok Timur, mengusulkan perlunya dibentuk "cluster" yang berfungsi untuk mengoordinasikan semua kebutuhan dan tindakan saat terjadi bencana.

Misalnya cluster manajemen, cluster logistik, kesehatan, keamanan dan pemulihan serta komunikasi dan edukasi sehingga penanganannya dapat berjalan cepat, tepat, terkoordinasi dan menyeluruh, serta sebagai dasar memobilisasi sumber daya para pemangku kepentingan pada saat tanggap darurat bencana.

Menurut Anton, selama ini status Gunung Baru Jari hanya sampai status waspada, jarang sampai status status awas. Namun demikian, karena Gunung Baru Jari atau Gunung Rinjani ini menjadi magnet para wisatawan yang ingin menikmati panorama puncak gunung atau Danau Segara Anak, maka diperlukan kesiapan pemerintah NTB dan Pemkab Lombok Timur khususnya, dalam hal melakukan penyelamatan maupun melakukan prosedur evakuasi bagi para wisatawan bila terjadi bencana di Gunung Rinjani.

Sedangkan untuk memudahkan akses informasi dan komunikasi penanggulangan/penanganan bencana maka Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik NTB bersama pemangku kepentingan terkait lainnya juga perlu menyiapkan media centre sebagai kanal informasi resmi dilengkapi sistem informasi kebencanaan yang terintegrasi.

Sementara, Plt Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi NTB, Gde Aryadi mengatakan kini pihaknya telah menyiapkan ruang khusus pada portal NTB Satu Data, informasi tentang kebencanaan.

Aryadi menjelaskan didalam sistem tersebut, akan menyajikan 3 kategori informasi bencana. Yakni, pra bencana yang menyajikan data profil daerah rawan bencana, informasi terkait demografi dan fasilitas umum lainnya, sehingga bisa direncanakan jumlah kebutuhan tanggap darurat.
Kemudian, kategori kedua, kata Aryadi adalah informasi tanggap darurat saat terjadi bencana. Di antaranya informasi/data jumlah korban, pengungsi, bantuan dan relawan/petugas dan lain- lain. Sedangkan kategori ketiga, adalah informasi rehabilitasi dan rekonstruksi atau penanganan pasca bencana/pemulihan,

"Karenanya, kita harus mulai menyiapkan diri sebaik mungkin. Sehingga ketika bencana itu datang, kita sudah mampu mengantisipasinya sejak dini. Dan risiko yang mungkin timbul dapat ditekan ke titik yang paling minimal," katanya.

Baca juga: BPBD NTB luncurkan aplikasi siaga bencana

Baca juga: BNPB: Desa merupakan ujung tombak penanggulangan bencana

Baca juga: Perempuan "guru" pertama untuk kesiapsiagaan bencana

Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019