Denpasar (ANTARA) - Wali Kota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara menyatakan praktik korupsi memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap tata kelola pemerintahan salah satunya merusak kepercayaan publik.
Hal itu dikatakan Jaya Negara saat membuka sosialisasi penguatan integritas, budaya antikorupsi, dan gratifikasi bagi Pemerintah Daerah dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Sedunia Tahun 2025 di Gedung Taksu Dharma Negara Alaya, Denpasar, Bali, Selasa.
“Korupsi bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan moral dan budaya. Korupsi merusak sendi-sendi kepercayaan publik, melemahkan tata kelola pemerintahan, serta menghambat kesejahteraan dan pembangunan masyarakat," katanya.
Karena itu, membangun sistem pemerintahan yang bersih dan berintegritas adalah kewajiban moral sekaligus tanggung jawab kita bersama.
Jaya Negara menjelaskan Pemerintah Kota Denpasar sendiri memiliki komitmen tinggi dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sesuai dengan spirit Sewaka Dharma.
“Visi misi kami menegaskan pentingnya tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel," katanya.
Hal itu terbukti Indeks Reformasi Birokrasi Denpasar menunjukkan peningkatan dari 85,53 di tahun 2023 menjadi 92,75 di tahun 2024.
Selain itu, Survei Penilaian Integritas (SPI) juga menunjukkan tren positif, dari 78,61 di tahun 2023 menjadi 79,02 di tahun 2024. Komitmen tersebut turut diwujudkan dalam implementasi monitoring, controling, Surveillance for Prevention (MCSP), dengan capaian 97,29 di tahun 2023, meningkat menjadi 98,87 di tahun 2024, dan berada di angka 83,90 per 3 November 2025.
“Kami berharap seluruh jajaran pimpinan OPD, camat, lurah, perumda, dan desa adat dapat mengikuti kegiatan ini dengan sungguh-sungguh agar mampu memahami pentingnya integritas dan penerapan budaya antikorupsi dalam menjalankan tugas,” ujarnya.
Wali Kota Jaya Negara menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada KPK RI atas dipilihnya Kota Denpasar sebagai lokasi penyelenggaraan sosialisasi antikorupsi dalam rangka penguatan integritas aparatur pemerintah daerah.
Sementara itu, Kasatgas Sertifikasi dan Pemberdayaan KPK RI Sugiarto, dalam paparannya menyampaikan korupsi mulanya ada pada diri sendiri, dimana akar korupsi sering kali bermula dari perilaku gratifikasi.
“Gratifikasi dapat menimbulkan mental pengemis dan sifat hedonis, yang pada akhirnya mengarah pada penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara,” katanya.
Ia menegaskan sesuai Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 setiap penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas penerima wajib dilaporkan kepada KPK.
“Pelaporan gratifikasi merupakan cerminan integritas individu sekaligus langkah nyata dalam memutus konflik kepentingan di lingkungan birokrasi,” tutupnya.
