Denpasar (ANTARA) - Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) menjadikan Bali International Film Festival (Balinale) Ke-18 jembatan bagi penggiat film dengan investor.
Deputi Bidang Kreativitas Media Kemenekraf Agustini Rahayu di Denpasar, Minggu, mengatakan dengan mendukung ajang perfilman ini maka pemerintah ikut menjadi penghubung industri.
“Kemenekraf sadar semua sub sektor ekonomi kreatif membutuhkan dukungan pembiayaan yang tidak sedikit, apalagi film. Itulah kenapa Kemenekraf melakukan kerja sama hexahelix,” kata Agustini.
“Balinale menjadi contoh bagaimana festival dapat menjembatani kreator dengan dunia sambil membuka peluang ekonomi nyata bagi talenta lokal,” sambungnya.
Untuk produksi film komersil berdurasi singkat saja ia menyebut butuh biaya Rp5 miliar, ditambah biaya promosi Rp5 miliar, sehingga dibutuhkan biaya setidaknya Rp10 miliar.
Baca juga: Digelar 1-7 Juni, Festival Film Internasional Bali targetkan enam ribu pengunjung
“Jadi, walaupun tidak bisa membantu menggunakan APBN, kami mengkoneksikan industri ke investor melalui forum-forum seperti ini, yaitu pertemuan antara pelaku, investor dan industrinya,” ujarnya.
Selain mendistribusikan karya kepada investor sehingga membantu penghidupan penggiat film, festival film internasional ini juga wadah untuk mengenalkan Indonesia ke dunia.
Agustini Rahayu meyakini film merupakan salah satu industri kreatif prioritas yang memiliki kekuatan besar, tidak hanya untuk menghibur, tetapi juga untuk mencerminkan identitas, dan memperluas pengaruh budaya secara internasional.
Salah satu cerita sukses yang berangkat dari Balinale adalah film Eat, Pray, and Love, yang mengangkat Bali hingga mancanegara dan mendatangkan wisatawan asing yang penasaran dengan Bali.
Pendiri dan Direktur Festival Balinale Deborah Gabinetti menyebut tahun ini dari 72 film yang ditayangkan mulai 1-7 Juni 2025, sebanyak 23 film berasal dari Indonesia.
Ia meyakini melalui festival film yang diikuti 32 negara ini, suara-suara Indonesia akan semakin terdengar di dunia.
Baca juga: Bali International Film Festival mendapat pengakuan global
“Seperti ketika kami memfilmkan Savages bersama Oliver Stone, ia merekamnya di Moyo, jadi keindahan Indonesia adalah kalian memiliki lokasi yang sangat beragam, kalian juga memiliki banyak kelompok etnis, itu peluang yang ditawarkan Indonesia,” kata Deborah.
Selain latar tempat, bakat masyarakat Indonesia juga dinilai luar biasa, sehingga menurutnya peran pemerintah mendukung upaya-upaya menyalurkan kreatifitas masyarakat ini yang paling penting.
“Indonesia harus memiliki sarana untuk distribusi,, promosi, pemasaran, jika tidak, kalian hanya menceritakan kisah kepada komunitas sendiri, sementara butuh audiens yang lebih luas,” kata dia.