Denpasar (ANTARA) - Plt Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali I Putu Astawa mengimbau pramuwisata di Bali harus berkompromi dengan wisatawan terkait tujuan atau destinasi wisata karena "masa depan" pariwisata terletak pada kepuasan wisatawan atas pelayanan jasa wisata dan bukan sekadar "paket" wisata.
"Biasanya, pramuwisata bekerja dengan menawarkan paket wisata kepada wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Untuk itu, komitmen dan kesepakatan terkait dengan arah, tujuan, budget, dan kontrak perjalanan perlu dikompromikan agar tidak mengecewakan," katanya di Denpasar, Jumat.
Ia berharap para wisatawan yang datang ke Bali mencari pramuwisata yang mau berkompromi dan memiliki pengetahuan tentang Bali sesuai arah tujuan wisata.
"Pramuwisata hendaknya memiliki pengetahuan tentang budaya yang ada di Bali, jangan memberikan paket wisata yang tidak diinginkan wisatawan dan tidak mau dengan paket lain yang tidak ada pengetahuan tentang destinasi itu," katanya.
Terkait hal itu, ia menyatakan wisatawan bisa saja jalan-jalan tanpa pramuwisata tapi sebaiknya menggunakan jasa pelayanan pramuwisata agar lebih mendapatkan informasi tentang Bali.
"Pemprov sudah mengatur keberadaan pramuwisata dengan Perda Bali Nomor 5/2016 tentang Pramuwisata. Kalau ada pramuwisata yang merugikan bisa mengacu pada Pasal 9 dari Perda Pramuwisata yang mengatur kewajiban mereka," katanya.
Pasal 9 Perda Pramuwisata Nomor 5 Tahun 2016 mengatur kewajiban pramuwisata adalah mengantar wisatawan, memberikan penjelasan dan petunjuk tentang rencana perjalanan, objek, dan daya tarik, serta membantu keamanan barang bawaan, dan memberikan pertolongan wisatawan yang sakit. "Jadi, pramuwisata itu sifatnya membantu wisatawan," katanya.
Baca juga: Tari Barong Batubulan-Gianyar pun disukai wisatawan asing (video)
Sebelumnya, puluhan wisatawan dari Surabaya, Jawa Timur, yang berkunjung ke sejumlah objek wisata di Bali, mengaku kecewa. "Guide (pramuwisata) itu mestinya melayani informasi, atau paling tidak memberi saran, bukan mengatur wisatawan yang berwisata," kata koordinator rombongan, Irfan.
Ia menjelaskan pramuwisata memandu rombongan sejumlah hampir 100 orang ke Bali selama tiga hari pada awal Juli lalu dengan tujuan pertama ke Tanah Lot, Tabanan untuk menikmati "matahari terbenam" (sunset) pada hari pertama (Jumat) sore-petang.
"Persoalan muncul pada hari kedua (Sabtu), karena pramuwisata menolak tujuan ke Desa Adat Penglipuran di Bangli, Taman Ujung (taman kerajaan kuno di Bali) di Karangasem, dan Pantai Virgin di Klungkung. Alasannya, bus berukuran besar agak repot masuk Penglipuran dan Pantai Virgin, bahkan jika dipaksakan akan memakan waktu lama," katanya.
Ia mengatakan masih bisa toleran dengan penolakan ke Taman Ujung yang mungkin lokasinya terlalu jauh, namun penolakan itu tidak harus semuanya, apalagi disertai dengan pengalihan ke Pantai Melasti dan sejumlah objek edukatif di kawasan Tanjung Benoa. "Akhirnya, kami mengambil jalan tengah dengan memilih objek lain yang masih ada nuansa khas Bali yakni Tari Barong 'Jambe Budaya' Gianyar, Pantai Pandawa, dan Pusat Oleh-Oleh," katanya.
Namun, hal itu sempat tidak ada kompromi sehingga koordinator rombongan meminta hari terakhir langsung pulang ke Surabaya lewat Pura Ulundanu di Bedugul tanpa pramuwisata agar tidak rumit, namun pramuwisata yang tidak lagi dilibatkan itu 'mengatur' bahwa ke Ulundanu tanpa pramuwisata bisa didenda belasan juta rupiah untuk setiap bus. "Kami jadi tidak nyaman dengan pramuwisata," katanya.
Baca juga: Lebaran, kunjungan wisatawan ke Hutan Monyet Alas Kedaton Tabanan meningkat (video)
Dispar Bali: pramuwisata dan wisatawan harus kompromi
Jumat, 19 Juli 2019 11:02 WIB