Amlapura (Antara Bali) - Kabupaten Karangasem, Bali khususnya Desa Purwakerthi mendapat kebanggaan karena produksi garam Amed mendapat sertifikasi sebagai produk indikasi geografis pada akhir tahun 2015.

"Hingga saat ini hanya tiga produk yang mendapat sertifikat tersebut di Bali yakni Kopi Kintamani, jambu mente Kubu, dan garam Amed," kata Manajer Program Conservation International Indonesia untuk Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Bali Iwan Dewantama melalui surat elektronika yang diterima Antara di Denpasar, Sabtu.

Ia mengatakan, garam Amed bukan sekedar sebuah produk, namun juga merupakan atraksi wisata dan pendidikan lingkungan yang harus dilestarikan. Kebanggaan dan prestasi ini sangat penting di tengah makin sedikitnya lahan dan jumlah petani garam Amed.

Sedikitnya tersisa 20 petani saja, sementara pasar makin menunjukkan ketertarikannya dengan meningkatnya jumlah permintaan.

'Mabesikan Project ; Art for Social Change' adalah sebuah program kolaborasi yang dijalankan oleh 15 kelompok seniman dan CSO di seluruh wilayah Bali untuk merespon berbagai persoalan sosial melalui karya seni," ujar Iwan Dewantama.

Program tersebut mendapat dukungan dari "Search for Common Ground" (SFCG) dan Kedutaan Besar Denmark. Dalam Mabesikan Project ini, Sloka Institute (CSO) bersama Rudi Waisnawa (seniman fotografi) dan Arie Putra (seniman mural) bekerja sama dan berkolaborasi dengan Conservation International Indonesia, Kelompok Indikasi Geografis Garam Amed, Pewarta Warga Amed serta beberapa kelompok seniman Amed.

Kolaborasi tersebut bertujuan untuk bersama-sama melakukan upaya perlindungan lahan Garam Amed, ujar Iwan Dewantama.

Upaya yang dilakukan tersebut antara lain mengadakan workshop seni, pameran foto dan pembuatan mural yang mengangkat tema potensi Garam Amed. Kelompok kolaborasi juga memfasilitasi ruang dialog antara petani garam Amed, pengusaha dan pemerintah.

Rudi Waisnawa seniman fotografi merasa tertantang untuk berkolaborasi dalam Mabesikan project yang mengangkat topik perlindungan garam Amed ini.

"Secara pribadi saya berharap project ini berkelanjutan, artinya tidak selesai cuma pameran foto saja. Tapi ada kelanjutan misalnya bisa memecahkan masalah yang dihadapi petani garam Amed yaitu menjaga keberlanjutan lahan petani garam. Sehingga dengan adanya Mabesikan project bisa melahirkan kebijakan tentang perlindungan lahan petani garam Amed, yang diikuti peningkatan kualitas produksi, pengemasan dan juga pemasarannya.

Kampanye perlindungan lahan garam Amed dimulai dengan kegiatan diskusi terfokus sebagai wadah untuk mengidentifikasi kendala, potensi, dan strategi perlindungan garam Amed.

Diskusi terfokus dihadiri 22 orang perwakilan dari beberapa pihak yang mendukung upaya perlindungan garam Amed.

Perwakilan pewarta warga Nengah Suanda yang ikut berpartisipasi menjelaskan Garam Amed Bali yang sudah tersohor itu adalah warisan berharga yang diberikan oleh nenek moyang, dan teknik pengolahan garam tradisional sendiri merupakan daya tarik pariwisata yang luar biasa dan tidak ada di tempat lain.

Suanda juga menegaskan sulitnya mengontrol kegunaan lahan yang banyak dialih fungsikan menjadi hotel dan restoran, sehingga perlu ada aturan zona khusus lahan produksi garam.

Iwan Dewantama menambahkan bahwa kegiatan Mabesikan Project merupakan ajang kolaborasi para pihak untuk mengangkat segenap potensi perlindungan garam Amed dan sebuah bentuk konservasi Alam dengan pendekatan baik di darat maupun di laut atau Nyegara-Gunung.

Pendekatan ini didasari prinsip keterkaitan lingkungan dari gunung sampai laut yang perlu dikelola secara terpadu. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadikan Amed sebagai salah pariwisata berbasis ekosistem dan budaya, yang dapat mendukung keberlanjutan dan kejayaan garam Amed.

Sementara itu, Pungkas D selaku Program Assistant Search for Common Ground untuk Mabesikan Project menjelaskan bahwa, inisiatif dari kolaborasi adalah salah satu bentuk kepedulian terhadap potensi petani dan lahan garam di Amed, keberlanjutan pelestarian alam serta warisan budaya.

Selain isu lingkungan, Mabesikan Project juga merespon isu identitas dalam masyarakat dan isu kesetaraan gender. Program ini dimulai sejak Oktober 2015 dan akan berlangsung hingga Januari 2017.

Upaya tersebut sekaligus mendorong kolaborasi antara seniman dan CSO, juga akan ada kegiatan Mabesikan Forum tanggal 15-16 Agustus 2016 yang akan memfasilitasi pertemuan antara seniman, CSO, stakeholder pemerintah dan komunitas masyarakat. Puncaknya akan ada Festival Mabesikan pada bulan Oktober 2016. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016