Perjalanan kehidupan Arthanegara menghadirkan jejak keberanian dan perjuangan yang penuh tantangan hingga dikagumi para tokoh bangsa, mulai Abdul Haris nasution, Adam Malik hingga Soeharto. posisi Arthanegara yang nasionalis rela meninggalkan tugas belajarnya di Negara Tiongkok dengan menyisakan romantisme bersama gadis Thailand yang lama membekas di hatinya. Namun pendekar KNPI Bali zaman Orde Baru ini tidak kehilangan akal segera mencari penggantinya gadis Bali keturunan Tiongkok Poi Gwan Nio dan dikaruniai dua anak Gusti Ayu Mas Sri Apsari, SH., MH. dan I Gusti Bagus Dharma Putra S.Sn.

Sebagai siswa kelas A yang waktu itu minim peminat terjalin hubungan emosional yang begitu kuat. Kami biasa bercanda dan biasa pula ngerjain guru yang kurang kami minati.

Seorang guru bahasa Ingris yang tamatan Malang, setiap datang mengajar ke kelas selalu memakai dasi. Entah karena tidak membuat persiapan mengajar atau mungkin karena egonya yang begitu tinggi, beliau selalu memulai pelajaran dengan pengalamannya waktu di Malang ataupun saat keterlibatan dalam revolusi kemerdekaan.

Kondisi ini kami manfaatkan dengan memancing guru tersebut melalui pertanyaan setiap mulai belajar tentang suasana kota Malang dan perjuangannya di masa revolusi di Bali. Karena ceritanya yang ngalur ngidul maka pelajaran bahasa Inggrisnya sendiri menjadi sangat minim.

Bahkan tidak jarang sampai bel berbunyi, pelajaran bahasa Inggris tidak kami peroleh. Ketika guru tersebut ingin memulai saat bel berbunyi, biasanya ada saja di antara kami yang pura-pura bertanya sesama teman apakah bel sudah berbunyi atau belum. Para siswa lalu menunjukan kegelisahan sehingga suasana kelas menjadi berisik. Lalu kami pun diberikan waktu istirahat.
    
Lain lagi dengan guru bahasa Prancis kami penampilannya seperti orang lesbian membuat guru tersebut selalu menjadi bahan olok-olok kami dengan meniru-niru gayanya. Tentu saja guru tersebut jadi tersinggung dan kami sekelas dihukumnya.

Dasar anak-anak bandel kami bukan bersedih tapi malah bersiul-siul mengangkat batu yang harus kami pindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Waktu itu yang popular adalah film "Bridge on the river kuai" lagu itulah yang selalu kami kumandangkan saat "kerja bakti"  pada waktu jam pelajaran. Tentu saja guru-guru yang lain dan siswa kelas B dan Kelas C jadi terganggu. Akhirnya kami diizinkan mengikuti pelajaran sebagaimana biasanya.
   
Guru menggambarku juga adalah guru yag sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan memberi angka tiga untuk pelajaran mengambar. Kebodohan menggambar itu hampir merata untuk anak-anak kelas A (sastra). Maklum otak kami memang tidak mampu bila diisi dengan urusan perspektif seperti yang diberikan di kelas B (pasti). Karena itulah ketika sekolah yang waktu itu masih pinjam di SPG Negeri (sekarang SMA 7) terbakar gara-gara petasan kembang api di stadion Ngurah Rai, Kami bersorak gembira ria. Maklum, hari itu adalah saat pelajaran menggambar yang banyak di antara kami tidak siap menyelesaikan pekerjaan rumah.
    
Aku sendiri tetap jadi anak yang nakal di kelas. Begitu nakalnya aku di mata temanku sebangku aku dilaporkan kepada guru agar temanku itu bisa pindah tempat duduk. Alasannya karena takut ketularan olehku. Kelak setelah kami bekerja di pemerintahan, temanku itu sering datang kerumahku minta pendapatku tentang perpindahan pegawai ataupun barang bawaan yang coba diberikan kepadanya oleh orang yang ingin mendapat posisi. Maklum dia menduduki posisi sebagai Kepala Bagian Kepegawaian. Ternyata saran-saranku diikutinya dan dia hanya bisa tertawa bila mengenang masa di SMA dulu. Banyak yang bisa kukenang saat-saat SMA dulu. Tapi yang paling tidak bisa kulupakan adalah tindakan tegas kepala sekolahku.
    
Beliau adalah seorang bekas tentara pejuang dan sangat tegas serta dikagumi dalam tindakannya. Acara penghormatan Bendera Perah Putih setiap hari senin harus kami ikuti dengan disiplin yang tinggi. Jangankan berani ngobrol dengan teman waktu upacara, bersikap tidak sempurna waktu berdiri saja kami harus siap untuk di hukum.

Menyambut hari kemerdekaan RI, sebagai mana biasa sekolah-sekolah mengikuti lomba baris berbaris keliling kota Denpasar. Di samping sebagai peserta siswa yang lain kompak memberi dukungannya di sepanjang jalan. Tidak terkecuali Bapak Kepala Sekolah, Bapak Made Sastra Inggas seorang tentara pelajar yang sempat berpangkat Letnam satu.

Tiba-tiba hujan deras mengguyur kota Denpasar. Barisan sekolah lain ada yang mencari tempat teduh. Tapi anak-anak SMA Negeri tidak pernah menyerah. Barisannya utuh demikian juga para supporter ikut basah-basah. Kepala sekolah mengacungkan jempol dan tampak berbunga-bunga. Terlihat disiplin siswanya. Akhirnya kami kembali ke sekolah sebelum bubaran. Dengan pekik merdeka kami dengan tertib mendengarkan pidado pujian dan kebanggaan sekolah dengan pakaian basah kuyup.

Begitu kepala sekolah meninggalkan sekolah, ketua ISSMAN (Ikatan Siswa Sekolah Menenggah Atas Negeri) kenudian bernama OSIS, berpidato mengajak  kita semua untuk besok tidak masuk sekolah karena baru habis kehujanan. Tentu saja ajakan ini mendapat sambutan meriah dari pra siswa. Kami benar-benar tidak masuk sekolah keesokan harinya. Tapi hari berikutnya saat hari masuk sekolah, Bapak Kepala Sekolah menyuruh kami apel di lapangan. Di situlah jiwa militernya dan disiplin tingginya nampak jelas. Dengan berapi-api beliau berpidato yang isinya kurang lebih sebagai berikut:
    
"Anak-anak, kamu kemarin baru hanya hujan air sudah menyerah. Tahukah kamu, kami dulu digempur hujan peluru tidak pernah mundur apalagi menyerah". Masih banyak lagi pidato beliau bagaimana kehidupan para pejuang untuk bisa mencapai kemerdekaan. Beliau sangat menyayangkan mengapa di saat merayakan hari kemerdekaan  kami mudah menyerah. Padahal saat beliau melihat kami tetap utuh berbaris, beliau merasa sangat bangga dengan semangat kami.

Pesan-pesan beliau itu selalu terngiang-ngiang di telingaku. Apalagi di kemudian hari aku sempat menjadi pimpinan pemuda sebagai Ketua KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia ) Provinsi Bali. Amanat itu pula menjadi salah satu modalku dalam menegakkan disiplin di kalangan teman-temanku.

Bapak kepala sekolahku memang mempunyai wawasan yang jauh ke depan. Dari kelas 1 sampai 3 SMA semua siswa diwajibkan mengikuti pelajaran Palang Merah Indonesia. Kami sempat praktek ke Rumah Sakit Umum Sanglah. Di situlah aku mendapat banyak pengalaman tentang kesehatan dan kode etik yang melarang menceritakan penyakit pasien yang kebetulan kutangani kepada orang lain.
    
Bahkan ketika Gunung Agung meletus, semua siswa SMAN yang telah dibekali pendidikan palang merah remaja diterjunkan ke barisan terdepan. Banyak pengalaman dalam penyelamatan para korban. Bahkan dengan pendidikan yang sangat minim karena keadaan yang memaksa, ada pula yang sempat menolong ibu yang melahirkan.

Bagiku sendiri, itulah saat aku melihat ganasnya lahar mengancurkan setiap yang menghalanginya. Hari itu pula aku bisa merasakan bau lahar dingin yang menyengat, menganyutkan pepohonan dan batu-batuan yang menghalanginya.
Banyak kenangan yang tak terlupakan semasa SMA seperti juga saat kukeliling Bali dengan naik sepeda. Bedugul dengan udaranya yang bersih dan dingin itu membuat kami lahap makan. Nasi yang baru masak pun bisa langsung kami santap dengan lahap walaupun lauknya tidak sehebat seperti kehidupanku sehari-hari di kota  Denpasar. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016