Perjalanan kehidupan Arthanegara menghadirkan jejak keberanian dan perjuangan yang penuh tantangan hingga dikagumi para tokoh bangsa, mulai Abdul Haris nasution, Adam Malik hingga Soeharto. posisi Arthanegara yang nasionalis rela meninggalkan tugas belajarnya di Negara Tiongkok dengan menyisakan romantisme bersama gadis Thailand yang lama membekas di hatinya. Namun pendekar KNPI Bali zaman Orde Baru ini tidak kehilangan akal segera mencari penggantinya gadis Bali keturunan Tiongkok Poi Gwan Nio dan dikaruniai dua anak Gusti Ayu Mas Sri Apsari, SH., MH. dan I Gusti Bagus Dharma Putra S.Sn.



3. Mulai Bersekolah

Masa usia sekolahku tidaklah separah orang-orang sebayaku waktu itu. Pada waktu itu anak-anak seusiaku banyak yang tidak mengenyam dunia pendidikan. Bahkan dari ceritra yang ku dengar, banyak pula yang harus bertelanjang kaki naik turun bukit dan menyeberangi sungai menempuh jalan yang jauhnya berkilo-kilo meter.

Tapi jarak rumahku dengan sekolah hanya beberapa ratus meter saja. Aku bersyukur dapat menikmati sekolah Taman Kanak-Kanak (Pendidikan Anak Usia Dini) yang pada masa itu disebut Taman Indra. Sekolah itu terletak di halaman depan Puri Satria, kira-kira tidak lebih dari 500 meter dari rumahku. Kebetulan aku satu kelas dengan tetanggaku yang punya dokar (andong). Tentu saja aku diantar jemput dengan berkereta kuda itu setiap hari.

Dalam perjalanan hidupku aku mensyukuri masibku yang masih lebih baik dengan anak-anak lain seusiaku pada masa itu. Sebab ketika aku mulai masuk kelas satu sekolah dasar di SR (sekolah Rakyat), jarak rumahku juga tidak jauh. Sekolah itu adanya di jalan Surapati yang juga jaraknya tidak lebih dari satu kilometer. Semula aku maunya di SR 4 yang hanya ada di jalan Surapati. Hanya gara-gara badanku yang kecil dan ujung jari kananku tidak bisa menyentuh kuping kiriku lewat atas kepala, aku harus rela tersingkir.

Recana orang tua adalah agar aku bisa bersekolah di sekolah yang sama dengan kakakku, sehingga buku pelajaran yang dipakai bisa kami wariskan. Tapi nasib berkehendak lain, aku harus bersekolah di sekolah yang baru didirikan waktu itu yaitu di SR No. 5.

Ternyata juga semua ada hikmahnya. Aku justru mendapat guru yang sangat baik dan banyak menentukan jalan hidupku di kemudian hari. Aku masih ingat nama guruku itu adalah Pak Dendi yang masuk dari kawasan Pegok sekitar 4 Km dari rumahnya ke sekolah. Begitu menariknya dan akrabnya beliau memberikan pelajaran, membuatku jadi rajin sekolah. Begitu tahu beliau dekat sekolah yang juga dekat rumahku ada perpustakaan umum (di jalan Kaliasem sekarang), kami diwajibkan untuk rajin-rajin membaca.

Sejak masih sekolah dasar aku sudah terlatih untuk membaca dengan berlanganan gratis di perpustakaan umum yang ada di jalan kaliasem. Aku sangat akrab dengan kepala perpustakaan waktiu itu karena hampir setiap hari aku mengembalikan dan meminjam buku yang diterima langsung oleh beliau. Aku ingat betul dengan nama beliau yaitu I Gusti Mantra seorang paruh baya dengan menggunakan kaca mata yang cukup tebal. Karena kehabisan buku anak-anak, terpaksa juga kubaca buku-buku roman dari pengarang Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan buku-buku terjemahan.
   
 Buku-buku seperti “Kalau tak untung”, “Siti Nurbaya”, “Dibawah Lin-dungan Kaabah”, sampai dengan “Winnetou gugur” karya Karl May sangat kunikmati di masa kanak-kanak. Masih segar dalam ingatanku bagaimana aku sempat menangis ketika membaca “di Bawah Kaabah karya Hamka”,. Sampai sekarang aku masih ingat kalau Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah (maaf kalau ingatanku salah). Di samping itu aku juga kecanduan dengan komik karangan A. Kosasih yang memuat tentang ceritra pewayangan. Kami sekeluarga memang kecanduan membaca, maka buku itu tak akan terlepas sebelum selesai. Ibuku pasti akan marah-marah di saat beliau menyapu membersihkan halaman rumah. Sebab kami bukannya menolong beliau, tapi biasanya aku akan pindah tempat duduk dari satu kursi ke kursi yang lain setiap beliau sampai bersih-bersih ke kursi yang lagi kududuki.

Banyak penghuni rumah dengan saudara-saudara sepupu, membuat kami malas bekerja membantu ibu. Semua pekerjaan sudah di bantu oleh saudara sepupu. Kerja kami di samping membaca adalah juga duduk mengitari meja makan yang berbentuk bundar. Sehabis makan atau kalau lagi tidak ada pekerjaan, kami duduk mengitari meja bundar tersebut. Disitulah kami biasa berdebat tentang apa saja dengan saudara-saudara. Ibu juga sering menegur ulah kami tersebut. Kadang kala beliau mengingatkan kami kalau jadi manusia itu tidak cukup dengan pandai silat lidah tapi harus juga disertai dengan kerja dan kerja. Ada lagu yang sering beliau kumandangkan dan populer waktu itu:

 â€œBekerja-bekerja panggilan waktu// Itulah harapan untuk maju” Begitulah samar-samar yang masih bisa kuingat. Saking jengkelnya beliau, sering pula kami diingatkan dengan kalimat-kalimat sebagai berikut: “Baas padi dadi jakan//Baas bikas nak nu dadi benin”

Artinya kurang lebih—“beras yang dari padi bisa dimasak//Tapi kalau perbuatan yang kebangetan itupun masih bisa diperbaiki”

Atau kadang-kadang beliau mengingatkan “Yen goba sing nyidang menin// Yen bikas nak nu dadi benin”                                                          

Artinya:” Kalau rupa tidak bisa diperbaiki (waktu itu belum dikenal operasi plastik tapi perilaku masih  bisa diperbaiki”.
   
Masih banyak lagi nasehat-nasehat beliau yang masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri waktu itu dan baru bisa kumaknai setelah aku menjadi orang tua dan berumur kakek-kakek seperti sekarang ini. Tapi beliau memang seorang ibu yang tidak mudah untuk menyerah. Beliau lakukan tugasnya  sebagai seorang ibu rumah tangga dengan penuh tanggung jawab dan komitmennya yang tinggi sebagai seorang istri.

Semasa sekolah dasar, kenakalanku sering tak terkendali. Kadangkala di sekolah untuk hukumannya aku harus menjalani tugas-tugas membersihkan halaman sekolah, membersihkan WC (toilet) dan berdiri di depan kelas waktu pelajaran berlangsung. Bahkan pernah terjadi dalam sebuah perkelahian dengan teman sekelasku aku terbacok gerip (alat tulis pada batu tulis) dipaha kaki kananku. Aku tidak berani melapor di rumah karena aku tahu sanksi hukuman ayahku pasti akan lebih berat. Kutahan saja dengan mengobati memakai minyak kelapa. Entah memang minyak kelapa itu yang mujarab sebagai obat ataukah semuanya memang sebuah kebesaran Tuhan, akhirnya luka bacok itu sembuh juga tanpa meninggalkan bekas. Aku sangat mensyukuri kesembuhan lukaku itu, hari-haripun terus berjalan.

Saat aku duduk di kelas 5 (lima) saudara angkat ibuku yang sudah lama menikah tapi belum punya anak, berharap aku bisa bersamanya. Ada semacam kepercayaan dalam masyarakat bagi pasangan suami istri yang lama tidak punya anak biasa mengajak anak sebagai pancingan. Hal ini dipercaya akan bisa segera membuat pancingan itu dapat memberikan keturunan. Entah apa dasarnya pertimbangannya, pilihan itu justru tertimpa pada diriku. Maka jalan hidupku pun jadi berubah. Pasangan suami istri itu tentu tidak setelaten ibu dan ayahku memberikan perhatiannya. Adik angkat ibuku itu hanyalah seorang pegawai negeri dengan pangkat rendah tapi memiliki harta warisan sawah yang tak terbilang banyaknya. Karena itu pulang kantor mulai sore sampai malam beliau menambah pendidikan kursus pendidikan Administrasi (KPA) sederajat dengan SMP sekarang. Waktunya banyak tersita untuk kerja kantor dan sekolahnya sepulang dari kerja.
    
Sementara istrinya tidak punya aktivitas penting, selain kegiatan main Ceki dengan tetangga pada malam hari. Pagi hari beliau pasti bangun kesiangan sehingga kebiasaan makan pagi buat diriku jadi terhapus. Hilangnya kebiasaan ini membuat konsentrasi belajarku tidak bagus. Mulai pukul 09.00 pagi badan dan tangan kaki jadi berkeringat.

Badanku terasa lemah dan letih menunggu saat pulang sekolah. Belum lagi di sekolah ada pembukaan sekolah dasar baru yaitu dengan dibukanya sekolah rakyat No.7. Anak-anak dari SR No. 5 sebagian dipindah ke sana dan akulah termasuk didalamnya. Semakin lengkaplah kurangnya perhatian terhadap diriku. Aku menjadi sangat mundur dengan pelajaran di sekolah di samping kondisi fisik yang tidak baik malam hari dengan diawali sebagai pemerhati bermain ceki, lama-lama aku mulai mencoba untuk ikut belajar mengikuti ibu yang mengajakku. Aku tidak berani melaporkan komdisi ini kepada ayah atau ibuku. Baru sesudah akhir tahun pelajaran aku diputuskan guruku tidak naik ke kelas 6 (enam) barulah seisi rumah terkejut. Aku akhirnya ditarik kembali ke rumah di jalan Rambutan kebetulan juga ibu yang mengajakku sudah mulai hamil dan akan menunggu kelahiran putrinya yang pertama. (WDY)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016