Perjalanan kehidupan Arthanegara menghadirkan jejak keberanian dan perjuangan yang penuh tantangan hingga dikagumi para tokoh bangsa, mulai Abdul Haris nasution, Adam Malik hingga Soeharto. posisi Arthanegara yang nasionalis rela meninggalkan tugas belajarnya di Negara Tiongkok dengan menyisakan romantisme bersama gadis Thailand yang lama membekas di hatinya. Namun pendekar KNPI Bali zaman Orde Baru ini tidak kehilangan akal segera mencari penggantinya gadis Bali keturunan Tiongkok Poi Gwan Nio dan dikaruniai dua anak Gusti Ayu Mas Sri Apsari, SH., MH. dan I Gusti Bagus Dharma Putra S.Sn.


Ada cerita menarik mengapa beliau tidak mau memakai kendaraan dinas dan telepon rumah, padahal hak itu ada pada beliau sebagai seorang pejabat. Ketika mobil dinas itu dipegangnya, ada bawahan beliau yang meminjamnya untuk dipakai upacara di Singaraja. Orang itu berjanji akan mengembalikan mobil itu ke rumah segera setelah kembali dari Singaraja, walaupun malam hari.

Tapi kenyataannya yang terjadi adalah lain. Siang berganti sore dan sorepun berganti malam. Mobil tersebut ternyata tidak kembali. Bermacam kekhawatiran mulai timbul, terutama kalau sampai mobil itu tabrakan atau masuk jurang. Sebagai pemegang mobil dinas dan yang membawa pergi tidak dalam urusan dinas, beliau harus mempertaruhkan jabatannya kalau terjadi apa-apa.

Beliau sangat gelisah dan terus tidak bisa tidur sampai malam berganti pagi. Keesokan harinya menjelang jam masuk kantor, barulah mobil itu datang dibawa oleh si peminjam. Yang sangat membuat beliau kecewa adalah peminjam tidak memperlihatkan penyesalannya bahkan dengan ketawa-tawa menyerahkan kunci sambil menjelaskan bahwa tidak bisa dikembalikan kemarin karena hari sudah malam dan pikirnya ayahku sudah tidur.

Entah apa yang menjadi pertimbangan, mobil itu kemudian dikembalikan ke pool dan hanya dipakai kalau beliau ada tugas dinas ke luar kota.

Untuk telepon pemberian kantor karena menjadi pejabat, juga ada ceritanya tersendiri. Sebagai anak-anak dengan  jumlah sebelas orang dan selisih umur adik kakak rata-rata hanya dua tahun, maka kebiasaan berkelahi dan bertengkar dengan saudara tak terhindarkan.

Maklum bagaimana dunia anak-anak. Jujur harus kami akui, karena banyaknya saudara sepupu yang numpang di rumah, kami anak-anak menjadi malas membantu ibu. Di samping kebiasaan jelek suka berkelahi dan tidak mau membantu ibu atau pekerjaan rumah lainnya, diam-diam ingin juga kami kadang kala untuk membolos sekolah.

Nah, membolos inilah yang dampaknya paling fatal bagi kami anak-anaknya. Apalagi ibu tahu kalau alasan sakit ataupun pusing itu hanya alasan yang dicari-cari. Dua kebiasaan jelek ini, yaitu berkelahi dan bolos sekolah, bila ada diantara kami  berani melakukannya, ibu biasanya menelepon ayah.

Maklum, kedekatan ibu dengan anak-anak sering juga membuat ibu tidak cukup berwibawa untuk menjinakkan anak-anak. Kalau kami sudah membandel seperti ini, ibu biasanya menelepon ayah melaporkan tingkah polah anak-anak. Ayah pasti segera pulang dan meminta pertanggungjawaban perbuatan kami.

Kalau ternyata membolos, hukuman fisik berupa tendangan sampai dengan diikat di tiang rumah merupakan resiko atas perbuatan kami. Demikian juga kalau berkelahi. Ayah akan memanggil kami berdua dan disuruhnya berkelahi lagi untuk bisa beliau saksikan langsung.

Tentu hal ini tidak mungkin kami lakukan. Sanksinya kami harus siap untuk diikat di tiang rumah sampai beliau pulang kantor tanpa makan.Apalagi kalau kami berani berkelahi dengan anak tetangga dan pulang dengan menangis. Jangan pernah berharap akan dapat pembelaan sekalipun berada dalam posisi yang benar.

“Kalau kamu pemberani, hadapi lawanmu walaupun kamu harus mati membela kebenaran. Ayah tidak ingin punya anak yang cengeng apalagi dengan membawa tangis”.Kalimat itu yang sering kami harus terima. Di samping itu sebagai hukuman atas kepengecutan kami, diikat di tiang rumah harus pula kami nikmati. Belum lagi kalau ditambah dengan dicambuk dengan tangkai sapu ijuk.

Kalau sudah begini, akupun harus pandai bersandiwara. Lututku kupegang kuat-kuat seolah-olah sudah luka berat, sambil menagis meraung-raung. Ayahku memang tak akan bergeming dengan hukumannya itu. Tapi ibuku biasanya akan menangis dan minta supaya hukuman itu dihentikan. Sehingga cukup hanya diikat di tiang rumah saja.

Biasanya sandiwaraku berhasil karena ibu pasti akan mengambilkan air hangat  mengusap-usap tulang keringku yang kubilang sakit tadi. Kejadian-kejadian seperti itu membuat pekerjaan ayahku terganggu dengan laporan ibu lewat telepon. Akhirnya beliau memutuskan untuk mencabut telepon dinas yang ada di rumah kami. Atau mungkin juga beliau melihat kami sudah mulai merasa jera dengan sanksi-sanksi yang kami terima.

Meskipun tidak jera seratus persen, tetapi sedikit kemajuan sudah ada.Aku mulai dilatih silat dari guru silat yang ada di banjarku. Sebagai seorang pesilat yang baru belajar, tentu aku ingin mencoba ilmuku dengan sesama anak-anak. Kebetulan aku yang menang. Jadi aku tidak perlu pulang membawa tangis.

Tapi apa daya, ternyata orang tua musuhku yang protes kepada orang tuaku, Kebetulan ayahku ada di rumah. Ketika aku diintrogasi oleh ayahku, terdorong oleh rasa takut yang amat sangat, aku cuma bisa terdiam. Ayahku tentu saja tidak terima atas sikapku yang tidak bertangungjawab itu. Aku yang berdiri di depan pintu mencoba untuk dipukul oleh ayahku.

Gerak reflek sebagai seorang pesilat baru, tanpa kusadari aku mencoba menghindar dengan menggerakkan kepala ke samping sehingga tidak terkena sasaran pukulan ayahku. Hal ini membuat beliau semakin marah. Aku disuruhnya untuk menghindar sekali lagi. Tentu saja aku tidak berani. Kuterima pukulan ayahku dari depan dengan tambahan kepalaku harus terbentur ke belakang dengan daun pintu tempatku berdiri. Lalu akupun hanya bisa menangis. (WDY)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016