Perjalanan kehidupan Arthanegara menghadirkan jejak keberanian dan perjuangan yang penuh tantangan hingga dikagumi para tokoh bangsa, mulai Abdul Haris nasution, Adam Malik hingga Soeharto. posisi Arthanegara yang nasionalis rela meninggalkan tugas belajarnya di Negara Tiongkok dengan menyisakan romantisme bersama gadis Thailand yang lama membekas di hatinya. Namun pendekar KNPI Bali zaman Orde Baru ini tidak kehilangan akal segera mencari penggantinya gadis Bali keturunan Tiongkok Poi Gwan Nio dan dikaruniai dua anak Gusti Ayu Mas Sri Apsari, SH., MH. dan I Gusti Bagus Dharma Putra S.Sn.


Seorang yang baik hati ingin mengantar kakakku ke rumah. Saat ditanya di mana rumahnya, sambil menangis dia bilang tinggal di balun (jalan Dr. Sutomo), bukannya di Belaluan (jalan Rambutan). Tentu saja tidak ketemu. Syukurnya penduduk kota Denpasar masih jarang waktu itu. Seisi rumah menjadi heboh karena kakakku tidak pulang sampai sore.
 
Syukurlah orang yang baik hati itu sabar bertanya kepada kakakku mulai dari asal, nama orang tua dan sebaginya. Akhirnya kakakku bisa kembali ke rumah. Seperti itulah budaya penduduk Kota Denpasar saat itu.

Sulit untuk dipercaya, sama sulitnya kalau kuceritakan betapa masa kanak-kanakku tidak ada sepeda yang hilang walau sepeda itu tidak di kunci sehari semalam. Demikian juga cerita bagaimana rasanya rumah kemalingan waktu itu walau tidak ada pintu yang memagari rumah.
Mungkin itulah cerminan masyarakat yang peduli dengan sesamanya, tidak saling mengganggu bahkan saling tolong menolong. Masa itu kalau tiba-tiba kekurangan terasi atau garam, antar tetangga biasa saling meminta.

Atau sebaliknya bila ada tetangga yang masak agak istimewa (waktu itu masak daging ayam adalah hal yang istimewa) mereka biasa saling kirim mengirim makanan. Sebagai anak-anak aku terkesan dengan suasana rumah yang di depan pintu masuknya ada tempat untuk duduk-duduk, sehingga antar tetangga menjadi sangat akrab dan saling kenal mengenal.

Tempat duduk-duduk itu biasa disebut dengan leneng (mungkin dari bahasa Belanda dan sekarang tidak terlihat lagi rumah yang memakainya). Di tempat itulah antar tetangga sering mengobrol saat tidak ada pekerjaan di sore hari.

Bagiku tempat itu adalah tempat berkumpulnya anak-anak di sore hari, karena tetangga sebelah timur rumahku ada orang tua yang rajin bercerita tentang cerita-cerita rakyat Bali kepada para anak-anak. Beliau itu seorang seniman, pandai bermain kendang dan sekaligus menjual kendang kepada para sekeha kesenian Bali dari seluruh Bali. Sore-sore setiap melihat beliau duduk di leneng rumahnya, kami biasanya duduk mengelilinginya untuk bisa mendengarkan donggeng cerita rakyat Bali.

Ayahku sendiri sebagai seorang pegawai negeri dan menjadi pejabat di kantornya, sangat sibuk dengan tugas-tugasnya. Sangat tidak mungkin mengharap beliau untuk membolos sebelum jam kantor berakhir.

Beliau mentradisikan sebelum berangkat meninggalkan rumah, baik bagi yang ke kantor maupun sekolah, wajib makan pagi di rumah. Jarak rumah dengan kantor (di jalan Surapati depan lapangan puputan) tidak lebih dari 500 meter. Demikian juga jarak rumah dengan sekolah (dengan melalui gang) mungkin hanya 600 meter. Paling jauh sekolah kami tidak lebih dari 1-2 Km. Kami menempuhnya dengan jalan kaki.

Waktu itu ayahku sudah mengendarai sepeda motor Zundap yang bisa digayung dengan kaki kalau mesinnya tidak dihidupkan. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016